Cari Blog Ini

Sabtu, 16 Januari 2010

kaidah hukum

PEMAHAMAN MENGENAI

NORMA ATAU KAIDAH HUKUM

(Disarikan dari buku JJH Bruggink : Refleksi tentang Hukum)

penyari :

SUHARIYONO AR

Aturan Hukum dan Kaidah Hukum akan dituangkan dalam 4 sub judul, yakni uraian

mengenai:

1. aturan hukum dan kaidah hukum (secara umum);

Ad. 1.
Aturan hukum pada dasarnya suatu bentuk pernyataan (uitspraak) yang terkait
dengan hukum. Aturan hukum, pada dasarnya, berasal dari kaidah hukum atau norma
hukum (rechtsnorm). Kaidah hukum merupakan proposisi suatu aturan hukum karena arti
dari suatu kalimat atau pernyataan adalah sama dengan proposisi dari kalimat atau
pernyataan tersebut. (Proposisi = rancangan usulan; ungkapan yang dapat dipercaya,
disangsikan, disangkal atau dibuktikan benar tidaknya = diambil dari KBBI). Kaidah
hukum dapat pula diartikan sebagai satuan bahasa yang lebih luas yakni aturan hukum.
Isi pengertian/intensi (begripsinhoud) dan lingkup pengertian/ekstensi
(begripsomvang) dapat disusun dalam suatu kaidah hukum. Isi kaidah (norminhoud)
adalah keseluruhan ciri unsur-unsur yang mewujudkan kaidah itu. Lingkup kaidah
(normomvang) adalah wilayah penerapan (toepassingsgebied) kaidah yang bersangkutan.
Arti suatu aturan hukum harus ditautkan dengan isi kaidahnya. Dari instensi dan ekstensi
di atas, terdapat 2 dalil, yakni:
“ISI KAIDAH MENENTUKAN WILAYAH PENERAPAN”
“ISI KAIDAH BERBANDING TERBALIK DENGAN WILAYAH PENERAPAN”
Dalil di atas menyatakan bahwa semakin sedikit isi kaidah hukum memuat ciriciri,
maka wilayah penerapannya semakin besar. Sebaliknya, semakin banyak isi kaidah
hukum memuat ciri-ciri, maka wilayah penerapannya semakin kecil. Perumusan kaidah
hukum digantungkan pada pembentuk peraturan, apakah akan memuat banyak ciri-ciri
atau tidak. Jika hakim dalam penerapan kaidah hukumnya memperluas isi, maka yang
berubah itu isinya, bukan aturan hukumnya. Yang terakhir ini sebagai interpretasi hakim
(bisa penafsiran ekstensif atau restrriktif dengan cara mengurangi atau menambah ciriciri).
tanda
arti
yang berarti
Dari skema di atas, dapat diambil contoh tentang kaidah hukum yang telah kita
kenal dalam KUHP, misalnya delik biasa dan delik pemberatan (pencurian biasa dan
pencurian pada malam hari atau pencurian disertai dengan kekerasan), penganiayaan
ringan, berat, dan mengakibatkan mati. Contoh di atas juga berlaku bagi aturan hukum
yang tidak tertulis (sebagai aturan yang belum ditetapkan atau dipositifkan oleh pejabat
Aturan Hukum
Kaidah Hukum
Wilayah Penerapan

yang berwenang). Mengenai aturan hukum yang tidak tertulis ini diperdebatkan apakah
sebagai hukum positif atau tidak. Hal ini termasuk juga dipersoalkan mengenai putusan
hakim yang tidak mendasarkan pada hukum positif.

2. kaidah hukum sebagai perintah;

Ad. 2
Prototipe (model awal sebagai contoh) kaidah hukum adalah “perintah” bagi
setiap orang (umum) sebagai dasar penguat bagi pemerintah (penguasa) untuk
menegakkan hukum. Jangkauan perintah untuk setiap orang (umum) harus dipenuhi bagi
kaidah hukum.
Jika kaidah hukum sebagai perintah, maka adanya kaidah hukum itu harus tertulis
karena terkait dengan seseorang yang memberi perintah dan yang diberi perintah. Kaidah
hukum tidak tertulis tidak ada yang memberi perintah. Di samping itu, perintah berkaitan
dengan yang dialamatkan dan yang mengalamatkan. Kaidah hukum harus sampai kepada
yang dialamatkan (yang diperintah). Kadangkala kaidah hukum lebih dari perintah karena
yang diberi perintah mengharapkan, di samping taat atas perintah, juga mengemban
kewajiban terhadap orang lain yang terlibat dalam pergaulan sosial. Dari hal inilah kaidah
hukum sebagai perintah dapat ditipikasi. Jadi, kaidah adalah kaidah sosial yang
mengarahkan diri pada perbuatan mereka yang menjadi warga masyarakat tempat kaidah
hukum berlaku. Glastra van Loon/Bohtlingk mengatakan bahwa aturan-aturan hukum
mengatur hubungan-hubungan pergaulan dan bagaimana antarmereka berperilaku.
Kaidah hukum timbul dari kesadaran hukum para warganya.
Herbert Hart (menolak terhadap teorinya John Austin) yang mengatakan bahwa
kepatuhan terhadap kaidah hukum lebih banyak paksaan daripada kepatuhan itu sendiri.
Jadi, orang patuh semata-mata karena ia dipaksa untuk itu. Hart mengajarkan bahwa tidak
semua kaidah hukum terdiri atas aturan perilaku sosial, tetapi ada jenis kaidah lain yang
berkaitan dengan perilaku sosial warga masyarakat hukum, misalnya kaidah prosedur,
kaidah kewenangan, kaidah peralihan, dan kaidah pengakuan. Yang terakhir ini disebut
jenis metakaidah. Kaidah perilaku diistilahkan “primary rules”, sedangkan untuk meta
kaidah diistilahkan “secondary rules”.

3. jenis kaidah hukum;

Ad. 3

Berkaitan dengan kaidah perilaku, Stig Stromholm mengadakan pembedaanantara kaidah primer yang memuat perintah perilaku dan kaidah sekunder yangmenetapkan sanksi apa yang harus dikenakan jika kaidah primer dilanggar.Di bawah ini dibahas mengenai kaidah perilaku dan meta kaidah untukmenghindari kesalahpahaman pembedaan antara kaidah primer dan kaidah sekunder.

a. kaidah hukum sebagai kaidah perilaku;

Ad. 3. a.

Perintah perilaku mewujudkan isi kaidah yang dapat menampilkan diri dalam berbagaiwajah. Penggolongan isi kaidah (pada umumnya) adalah :1) perintah (gebod), adalah kewajiban umum untuk melakukan sesuatu;2) larangan (verbod), adalah kewajiban umum untuk tidak melakukan sesuatu;3) pembebasan (vrijstelling, dispensasi), adalah pembolehan (verlof) khusus untuk tidakmelakukan sesuatu yang secara umum diharuskan;4) izin (toestemming), adalah pembolehan khusus untuk melakukan sesuatu yang secaraumum dilarang.Bandingkan dengan A. Hamid S. Attamimi dalam disertasinya “Peranan KeputusanPresiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara”. Padahalaman 314 s.d. 316 disebutkan bahwa norma yang ada dalam peraturan perundangundanganmengandung salah satu sifat-sifat di bawah ini, yakni :a. perintah (gebod);b. larangan (verbod);c. pengizinan (toestemming); dand. pembebasan (vrijstelling).Berdasarkan ilmu tentang logika norma (normenlogica) yang membicarakan antara lainkuadrat norma (normen kwadraat) yakni hubungan normlogis antara keempat operatornorma tersebut dapat dikembangkan lebih jauh melalui hubungan ekuivalensi,pertentangan kontradiktor, pertentangan kontrer, hubungan subkontrer, dan hubungansubsltern atau implikatif. Dengan demikian, sifat norma hukum yang empat besertapengembangannya itulah yang biasanya tercantum dalam peraturan perundang-undangan.www.legalitas.orgwww.legalitas.org5Pendapat Hamid di atas tidak jauh berbeda dengan uraian di bawah ini yang mengupasempat perilaku norma dan hal ini sekadar sebagai pelengkap dan pembanding. Jikadiuraikan lebih lanjut, empat perilaku di atas mempunyai hubungan satu sama lain yangjuga dapat memperlihatkan hubungan logikal tertentu, yakni :1) Perintah dan larangan saling mengecualikan atau keduanya terdapat pertentangan.Dalam logika, hubungan antara keduanya disebut kontraris yakni hubungan duaproposisi umum atau universal (dua-duanya berkenaan dengan kewajiban umum)yang berbeda dalam kualitasnya (yang satu berkenaan dengan melakukan sesuatu,yang lainnya berkenaan dengan tidak melakukan sesuatu).2) Perintah mengimplikasikan izin. Jika orang mengemban kewajibkan untukmelakukan sesuatu, maka orang tersebut juga mempunyai izin untuk melakukan halitu. Sebaliknya, larangan mengimplikasikan pembebasan. Jika orang mempunyaikewajiban untuk tidak melakukan sesuatu, maka orang tersebut juga mempunyai izinuntuk tidak melakukan sesuatu itu. Jadi, terdapat implikasi secara respektif antaraperintah dan izin serta antara larangan dan dispensasi, artinya jika perilaku tertentudiperintahkan, maka orang itu juga mempunyai izin untuk berperilaku demikian, danjika perilaku tertentu dilarang, maka orang itu juga dibebaskan dari keharusan untukberperilaku demikian. Dalam logika, hubungan yang demikian disebut subalternasiyakni terdapat antara proposisi universal dan proposisi partikular (hubungan iniberkenaan dengan di satu pihak suatu kewajiban umum dan di lain pihak suatukebolehan khusus) yang kualitasnya sama (melakukan sesuatu dan tidak melakukansesuatu).3) Antara izin dan dispensasi (pembebasan) tidak saling menggigit karena orang dapatmempunyai izin untuk melakukan sesuatu dan pada saat yang sama ia dapatmempunyai izin untuk tidak melakukan hal itu. Jika perilaku tertentu diperbolehkan,maka terdapat kemungkinan pada waktu yang bersamaan ia juga dibebaskan darikeharusan untuk berperilaku demikian. Namun tidak mungkin terjadi bahwa perilakutertentu tidak diperbolehkan dan orang juga tidak dibebaskan (dari keharusan) untukberperilaku demikian. Hubungan ini dalam logika disebut hubungan subkontraris.4) Antara perintah dan dispensasi, seperti juga larangan dan izin, tidak dapat berlakubersama-sama. Bukankah orang tidak dapat mempunyai kewajiban untuk melakukanwww.legalitas.orgwww.legalitas.org6sesuatu, sedangkan ia juga diizinkan untuk tidak melakukan hal itu. Begitu jugaorang tidak dapat mempunyai kewajiban untuk tidak melakukan sesuatu, padahalpada saat yang sama ia juga diperbolehkan untuk melakukan hal itu. Jadi, secararespektif antara perintah dan dispensasi serta antara larangan dan izin terdapatperlawanan. Jika perilaku tertentu diperintahkan maka orang tidak dapat dibebaskandarinya, dan jika perilaku tertentu dilarang maka orang tidak dapat memiliki izinuntuk melakukan hal itu. Namun dapat terjadi bahwa berkenaan dengan perilakutertentu tidak terdapat perintah atau dispensasi, atau tidak terdapat larangan atau izin.Hubungan ini dalam logika disebut hubungan kontradiksi.perintah kontraris larangansubalternasi kontradiksi subalternasiizin subkontraris dispensasi

b. kaidah hukum sebagai meta kaidah;

Ad. 3. b.

Di samping kaidah perilaku, terdapat kelompok besar kaidah yang menentukan sesuatuberkenaan dengan kaidah perilaku itu sendiri, yang disebut dengan metakaidah. Hartmenyebut 3 macam metakaidah, dan sarjana lain menambahkan 2 macam yakni :1) kaidah pengakuan (kaidah perilaku mana yang di dalam masyarakat hukum tertentuharus dipatuhi, misalnya larangan undang-undang berlaku surut);2) kaidah perubahan (kaidah yang menetapkan bagaimana suatu kaidah perilaku dapatdiubah, misalnya undang-undang tentang perubahan);3) kaidah kewenangan (kaidah yang menetapkan oleh siapa dan dengan melaluiprosedur yang mana kaidah perilaku ditetapkan dan bagaimana kaidah perilaku harusditerapkan, misalnya tentang kekuasaan kehakiman).4) kaidah definisi; dan5) kaidah penilaian.

c. kaidah mandiri dan kaidah tidak mandiri;


Ad. 3. c.
Kaidah ini hanya dapat dikemukakan suatu contoh bahwa kaidah perilaku berupa
larangan atau perintah merupakan kaidah mandiri. Dalam hal larangan dan perintah
tersebut terdapat dispensasi atau izin, maka dispensasi dan izin adalah sebagai kaidah
yang tidak mandiri karena sebagai penunjang kaidah mandiri.


KAIDAH-KAIDAH HUKUM
kaidah perilaku metakaidah
kaidah primer (H) kaidah sekunder (H)
(berkenaan kaidah perilaku)
kaidah primer (S) kaidah sekunder (S)
(kaidah sanksi)
kewajiban umum kebolehan khusus
perintah larangan dispensasi izin
terhadapnya diarahkan untuk
tidak melakukan sesuatu
terhadapnya diarahkan untuk
melakukan sesuatu
1. kaidah pengakuan;
2. kaidah perubahan;
3. kaidah kewenangan;
4. kaidah definisi;
5. kaidah penilaian.
hukum publik: hukum perdata:
1. pembentukan UU; 1. kaidah kualifikasi;
2. kehakiman; 2. kaidah kewenangan;
3. pemerintahan 3. kaidah prosedural

4. perumusan kaidah hukum dalam aturan hukum

Ad. 4

Berkenaan dengan aturan hukum yang terdiri atas kaidah hukum primer dan

kaidah sekunder dapat muncul berbagai variasi. Kaidah primer dan sekunder dapat

dirumuskan secara terpisah. Kaidah primer dapat memuat banyak unsur dan unsur-unsur

tersebut dapat disusun secara kumulatif dan juga alternatif.

Penggunaan istilah untuk kaidah perintah dan larangan, juga pembebasan dan

izin, sering mengalami kesulitan dalam menentukan diksi atau pilihan kata. Dalam

beberapa ketentuan, sering tidak konsisten dalam penggunaannya.

Pilihan Kata (diksi) Penormaan

Di Belanda, kata Bruggink, pilihan kata untuk penormaan (operator norma) juga

menimbulkan permasalahan bahasa yang juga sering berpengaruh pada kepastian hukum

karena ketidakkonstenan penggunaan istilah. Norma perintah dinyatakan dengan

bantuan kata “mengharuskan” (moeten) atau dengan ungkapan seperti “terikat untuk”

(gehouden zijn tot) atau “berkewajiban untuk” (verplicht zijn tot). Norma larangan,

perancang menggunakan kata “tidak boleh” (niet mogen) atau “dilarang” (het is

verboden).

Kesimpulan :

Kaidah hukum diungkapkan dalam aturan hukum dengan banyak cara yang berbeda. Dari

sudut pandangan teori hukum, ada usaha untuk membela pendapat bahwa kaidah hukum

itu adalah perintah. Pandangan ini oleh penulis ditolak. Kaidah hukum tidak hanya

memainkan peranan dalam hubungan antara pemberi perintah dan penerima perintah,

melainkan mempunyai jangkauan yang lebih luas. Kaidah hukum adalah kaidah sosial

yang hidup dalam masyarakat dan para para justisiabel mempertautkan harapan-harapan,

terlepas apakah aturan hukum itu secara langsung ditujukan kepada mereka atau tidak.

Aturan hukum harus dirumuskan dalam bentuk sintaksis yang tepat agar tidak

menimbulkan penafsiran karena aturan hukum akan dibaca dalam optik yang berbeda

Tidak ada komentar:

Posting Komentar