Cari Blog Ini

Sabtu, 17 April 2010

hukum tanah adat

BAB I
PENDAHULUAN
Dalam kehidupan manusia bahwa tanah tidak akan terlepas dari segala tindak
tanduk manusia itu sendiri sebab tanah merupakan tempat bagi manusia untuk
menjalani dan kelanjutan kehidupannya.
Oleh itu tanah sangat dibutuhkan oleh setiap anggota masyarakat, sehingga
sering terjadi sengketa diantara sesamanya, terutama yang menyangkut tanah.
Untuk itulah diperlukan kaedah – kaedah yang mengatur hubungan antara manusia
dengan tanah.
Di dalam Hukum Adat, tanah ini merupakan masalah yang sangat penting.
Hubungan antara manusia dengan tanah sangat erat, seperti yang telah dijelaskan
diatas, bahwa tanah sebagai tempat manusia untuk menjalani dan melanjutkan
kehidupannya.
Tanah sebagai tempat mereka berdiam, tanah yang memberi makan mereka, tanah
dimana mereka dimakamkan dan menjadi tempat kediaman orang – orang halus
pelindungnya beserta arwah leluhurnya, tanah dimana meresap daya – daya hidup,
termasuk juga hidupnya umat dan karenanya tergantung dari padanya.
Tanah adat merupakan milik dari masyarakat hukum adat yang telah dikuasai
sejak dulu. Kita juga bahwa telah memegang peran vital dalam kehidupan dan
penghidupan bangsa pendukung negara yang bersangkutan, lebih – lebih yang corak
agrarisnya berdominasi. Dinegara yang rakyatnya berhasrat melaksanakan
demokrasi yang berkeadilan sosial, pemanfaatan tanah untuk sebesar – besar
kemakmuran rakyat merupakan suatu conditio sine qua non.
Untuk mencapat tujuan itu, diperlukan campur tangan penguasa yang
berkompeten dalam urusan tanah, khususnya mengenai lahirnya, berpindah dan
berakhirnya hak milik atas tanah. Di lingkungan hukum adat, campur tangan itu
dilakukan oleh kepala berbagai persekutu hukum, seperti kepala atau pengurus
desa. Jadi, jika timbul permasalahan yang berkaitan dengan tanah adat ini, maka
pengurus - pengurus yang telah ada itulah yang akan menyelesaikannya.
Dalam hukum tanah adat ini terdapat kaedah – kaedah hukum. Keseluruhan
kaedah hukum yang timbuh dan berkembang didalam pergaulan hidup antar sesama
manusia adalah sangat berhubungan erat tentang pemamfaatan antar sesama
manusia adalah sangat berhubungan erat tentang pemamfaatan sekaligus
menghindarkan perselisihan dan pemamfaatan tanah sebaik – baiknya.
Hal inilah yang diatur di dalam hukum tanah adat. Dari ketentuan –
ketentuan hukum tanah ini akan timbul hak dan kewajiban yang berkaitan erat
dengan hak – hak yang ada diatas tanah.
Hukum tanah di Indonesia dari zaman penjajahan terkenal bersifat ‘dualisme’,
yang dapat diartikan bahwa status hukum atas tanah ada yang dikuasai oleh hukum
Eropa di satu pihak, dan yang dikuasai oleh hukum adat, di pihak lain.1
Keadaan seperti ini tidak lepas sebagai peninggalan atau warisan dari politik
agraria Pemerintah Hindia Belanda, yang pada dasarnya juga mempunyai alasan
untuk pemisahan antara kepentingan rakyat pribumi dan kepentingan modal asing.
Hal ini dapat terlihat dari komenta Prof. Ter Haar Bzn yang menyebutkan
bahwa dengan usaha bersama dicoba memberikan jaminan tentang nikmat ekonomi
atas tanah: syarat hidup bagi penduduk pribumi, syarat berdiri bagi pengusaha –
pengusaha perkebunan Eropa.
Terlepas dari itu, diseluruh Indonesia kita melihat adanya hubungan –
hubungan antara persekutuan hukum dengan tanah dalam wilayahnya, atau dengan
kata lain, persekutuan hukum itu mempunyai hak atas tanah – tanah itu, yang
dinamakan Beschikkingsrecht. Untuk istilah ini, beberapa sarjana memiliki beberapa
perbedaan penggunaan istilah, misalnya ‘hak pertuanan’ (Prof. Dr. Soepomo), ‘hak
ulayat’ (Dr.Soekanto dan Prof Mr.Mahadi).2 Hal ini membawa kita kepada suatu
pemahaman bahwa tanah adat atau hukum tanah adat di Indonesia mempunyai
pengaruh yang sangat besar dalam pola hidup dalam persekutuan masyarakat
hukum adat.
Tetapi masalah hukum tanah adat tidaklah mudah adanya. Karena masih di
bawah pengaruh dualisme hukum tanah yang ada selama masa Pemerintah Hindia
Belanda.


BAB II
PERMASALAHAN
Bertitik tolak dari penjelasan tersebut diatas, maka kita dapat melihat adanya
dualisme hukum adat di Indonesia. Sifat seperti ini adalah hal yang perlu dihindari
dalam lapangan hukum, sebab sifat dualisme dapat menimbulkan ketidakpastian
hukum, suatu keadaan yang bertentangan dengan falsafah dan tujuan hukum itu
sendiri.3
Lebih lanjut, di Indonesia belakangan dibuatlah suatu peraturan perundang -
undangan yang mengatur tentang pertanahan, yaitu Undang – Undang Nomor 5
tahun 1960 tentang Pokok Pertanahan (UUPA 1960). Undang – Undang diciptakan
untuk mengadakan unifikasi hukum pertanahan nasional.
Sehingga, muncul beberapa pertanyaan, antara lain adalah :
1. Bagaimana pengaturan hukum tanah adat yang da di Indonesia ?
2. Bagaimana kedudukan hukum tanah adat (atau tanah adat) setelah
berlakunya UUPA 1960 ?
3. Apakah dualisme hukum tanah di Indonesia benar – benar ditiadakan dengan
berlakunya UUPA 1960 ?
Pertanyaan – pertanyaan tersebut di atas membutuhkan jawaban – jawaban
yang tegas. Sebab, masalah pertanahan adalah persoalan yang cukup serius dan
sensitif adanya. Artinya, apabila persoalan pertanahan tidak mendapat perhatian di
tengah – tengah penyelenggara negara dan masyarakat, maka masyarakat akan
rawan konflik.
Oleh karena itum makalah ini akan melakukan pembahasan lebih lanjut
dalam bab – bab berikut ini untuk, seraya menjawab pertanyaan – pertanyaan
tersebut diatas berdasarkan teori – teori dan atau dasar hukum yang berlaku di
Indonesia.


BAB III
PEMBAHASAN
1. Hukum Tanah Adat sebelum berlakunya UUPA
Sebelum berlakunya UUPA, tanah adat masih merupakan milik dari suatu
persekutuan dan perseorangan. Tanah adat tersebut mereka pergunakan sesuat
dengan kebutuhan mereka dalam memanfaatkan dan mengolah tanah itu, para
anggita persekutuan berlangsung secara tertulis. Selain itu dalam melakukan
tindakan untuk menggunakan tanah adat, harus terlebih dahulu diketahui atau
meminta izin dari kepala adat.
Dengan demikian sebelum berlakunya UUPA ini tanah adat masih tetap milik
anggota persekutuan hukum, yang mempunyai hak untuk mengolahnya tanpa
adanya pihak yang melarang.
2. Beberapa aspek Hukum Tanah Adat di Indonesia
Tanah adalah suatu hak yang tidak lepas dari kehidupan manusia. Tanah
adalah tempat untuk mencari nafkah,mendirikan rumah atau tempat kediaman, dan
juga menjadi tempat dikuburnya orang pada waktu meninggal.Artinya, tanah adalah
hal yang sangat diperlukan manusia.
Supaya tidak ada ketidakjelasan hak antara satu sama lain pihak, maka
diperlukanlah aturan – aturan yang mengatur hubungan antara manusia dengan
tanah. Aturan – aturan atau kaedah – kaedah yang mengatur hubungan manusia
dengan tanah ini, selanjutnya disebut hukum tanah menurut hukum adat.
Menurut hukum adat di Indonesia, ada 2 (dua) macam hak yang timbul atas
tanah, antara lain yaitu:
1. Hak persekutuan, yaitu hak yang dimiliki, dikuasai, dimanfaatkan, dinikmati,
diusahai oleh sekelompok manusia yang hidup dalam suatu wilayah tertentu
yang disebut dengan masyarakat hukum (persekutuan hukum). Lebih lanjut,
hak persekutuan ini sering disebut dengan hak ulayat, hak dipertuan, hak
purba, hak komunal, atau beschikingsrecht.
2. Hak Perseorangan, yaitu hak yang dimiliki, dikuasai, dimanfaatkan,
dinikmati, diusahai oleh seseorang anggota dari persekutuan tertentu.
Secara umum, Prof.Ter Haar Bzn mengatakan bahwa hubungan antara hak
persekutuan dengan hak perseorangan adalah seperti ‘teori balon’. Artinya, semakin
besar hak persekutuan, maka semakin kecillah hak perseorangan. Dan sebaliknya,
semakin kecil hak persekutuan, maka semakin besarlah hak perseorangan.
Ringkasnya, hubungan diantara keduanya bersifat kembang kempis.
Hukum tanah adat dalam hal hak persekutuan atau hak pertuanan :
Dapat dilihat dengan jelas bahwa umat manusia itu ada yang berdiam di
suatu pusat tempat kediaman yang selanjutnya disebut masyarakat desa atau
mereka ada yang berdiam secara tersebar di pusat – pusat kediaman yang sama
nilainya satu sama lain, di suatu wilayah yang terbatas, maka dalam hal ini
merupakan suatu masyarakat wilayah.4
Persekutuan masyarakat seperti itu, berhak atas tanah itu, mempunyai hak –
hak tertentu atas tanah itu, dan melakukan hak itu baik keluar maupun ke dalam
persekutuan.
Berdasarkan atas berlakunya hak tersebut ke luar, maka persekutuan
masyarakat hukum adat itu sebagai kesatuan yang berkuasa memungut hasil dari
tanah itu dengan membatasi adanya orang – orang lain yang melakukan hal yang
seupa itu. Juga, sebagai suatu kesatuan masyarakat, mereka bertanggung jawab
terhadap orang – orang dari luar masyarakat itu atas perbuatan – perbuatan
pelanggaran di wilayah tanah masyarakat itu.
Masyarakat itu, dalam arti kata para anggotanya secara bersama – sama
(kolektif), mempergunakan hak pertuanannya berupa atau dengan jalan memungut
keuntungan dari tanah itu dan dari segala makhluk hidup yang terpelihara di situ.
Masyrakat itu membatasi kebebasan berbuat anggota – anggotanya secara
perseorangan berdasarkan atas haknya atas tanah itu dan untuk kepentingannya
sendiri (kepentingan masyarakat).5 Sehingga, sifat sosialnya tanah itu benar – benar
terjadi, berlaku dan dipertahankan dengan jelas.
Sifat yang khusus dari hak pertuanan atau persekutuan adalah terletak pada
daya timbal – balik dari pada hak itu terhadap hak – hak yang melekat pada orang
perorangan atau individu. Semakin memperkuat anggota masyarakat (selaku
pengolah tanah) hubungan individu tersebut dengan tanah yang tertentu itu dari
pada tanah yang diliputi oleh hak persekutuan, makin memperdalam hubungannya
dengan hukum perseorangan (terhadap tanah itu), maka makin kecillah hak yang
dimiliki masyarakat terhadap sebidang tanah itu.6
Bilamana hubungan perseorangan atas tanah itu berkurang atau bila
hubungan itu diabaikan secata terus – menerus, maka hak – hak masyarakat akan
dikembalikan seperti sedia kala, dan hak persekutuan atas tanah itu berlaku kembali
tanpa ada gangguan. Misalnya, dapat saja diatur agar tanah sedemikian itu menjadi
bagian orang – orang miskin atau orang – orang baru anggota persekutuan dengan
‘hak pakai’ (hak – hak sementara).7
Pada beberapa lingkungan hukum, maka kesadaran mengenai adanya
hubungan masyarkat dengan tanah itu terbukti dari adanya acara selamatan pada
waktu yang tetap di tempat – tempat selamatan desa tersebut di bawah pimpinan
masyarakat pada waktu akan memulai pengerjaan tanah. Sedangkan keyakinan dari
adanya pertalian yang hidup antara manusia dengan tanah itu juga dapat terlihat
jelas pada waktu diadakannya acara, seperti pesta pembersihan desa pasca panen
dan acara – acara semacam itu.
Anggota – anggota masyarakat sebagai perseorangan atau individu dapat
memungut hasil dari tanah itu, dalam mayoritas lingkungann hukum adat pada
pokoknya selama penggarapan tanah itu semata – mata hanya diperuntukkan untuk
mencari nafkahnya saja, atau berikut untuk keluarganya atau kerabatnya. Apabila
anggota persekutuan melewati batas penggunaannya itu, misalnya melakukan
penggarapan tanah untuk kepentingan perdagangan (trading) dalam artian untuk
memperkaya diri sendiri, maka mereka akan diperlukan seberapa jauh sebagai orang
– orang dari luar persekutuan, yang selanjutnya hak – hak persekutuan yang
bersifat ke luar akan diberlakukan terhadap mereka. Sekali lagi di sini dapat terlihat
bahwa sifat tanah itu benar – benar adalah bersifat sosial adanya.
Selanjutnya, anggota persekutuan masyarakat itu juga memiliki hak untuk
membuka tanah (ontginningsrecht), yaitu adanya penyelenggaraan suatu hubungan
sendiri terhadap sebidang tanah sebagai bagian dari lingkungan hak pertuanan. Hak
membuka tanah itu menurut hukum adat adalah hanya salah satu dari pada tanda –
tanda munculnya hak persekutuan atau beschikingsrecht dan hanya ada pada
anggota – anggota masyarakat atau tanah – tanah di lingkungan hak pertuanan itu
sendiri. Hubungan hukum seperti dapat diwariskan.
Hak membuka tanah ini tidaklah terjadi atau dilakukan begitu saja. Sering
kali ini menuntut adanya dilakukan acara – acara khusus yang dihadiri oleh para
tokoh adat atau masyarakat setempat dan perlunya membuat tanda – tanda tertentu
yang menunjukkan bahwa lahan atau tanah tersebut telah ada perseorangan yang
sedang mengolahnya. Hal – hal seperti ini akan mempertegas adanya hubungan
hukum perseorangan tersebut terhadap tanah yang dibukanya.
Apabila hal itu tidak ada, maka hubungan hukum antara tanah yang
dibukanya dengan dirinya akan begitu lemahnya, sehingga membuka peluang bagi
pihak lain (perseorangan atau individu) untuk juga mengklaim bahwa itu juga lahan
yang dibukanya. Hal seperti inilah yang akan menimbulkan permasalahan tentang
tanah. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa persoalan tanah memang
rawan konflik.
Kadang – kadang , setelah selang beberapa waktu, lahan itu tidak lagi
seperoduktif sewaktu baru pertama kali dibuka. Sehinggasi penggarap tanah
memutuskan untuk meninggalkan lahan tersebut dan membukan lahan yang baru di
daerah persekutuan itu juga. Dalam hal ini, maka apabila kondisi tanah atau lahan
menunjukkan keterlantaran, hak persekutuan akan kembali seperti sedia kala. Hak
perseorangan menjadi hapus. Apabila kelak yang bersangkutan berkehendak untuk
membuka kembali lahan tersebut, dia harus memulai hubungan hukumnya dari awal
lagi, seperti layaknya dahulu ia melakukannya.
Para pemimpin masyarakat adat juga memiliki hak untuk mencabut kembali
hak pakai atas tanah karena alasan – alasan tertentu. Misalnya, apabila lahan lama
telah lama ditinggalkan, atau si penggarap telah meninggal dunia tanpa mempunyai
ahli waris, atau karena suatu perjanjian tertentu masyarakat hukum adat, atau
karena si penggarap telah berkelakuan kurang baik terhadap persekutuan hukum.
Penggarapan tanah atau pemakaian tanah untuk menikmati hasilnya
tersebut, juga berlaku bagi kepala atau pegawai masyarakat hukum selama mereka
menjabat dinas bagi kepentingan persekutuan hukum. Tanah – tanah seperti ini
sering disebut sebagai ‘tanah bengkok’. Atau di beberapa tempat lainnya, para
pemimpin persekutuan dapat saja menikmati hasil dari tanah dengan jalan memiliki
tenaga kerja yang diambil dari sesama anggota persekutuannnya.9
Lebih tegasnya, ‘tanah bengkok’ yang disebut di sini adalah sebagian dari
tanah persekutuan yang diperuntukan sebagai semacam gaji kepala desa, terlepas
dari mana asal – usulnya yang lebih tegas, tetapi secara umum diambil dari tanah
persekutuan.
Hak persekutuan atau petuanan juga dapat berlaku ke luar. Dalam hal hak
persekutuan atau beschikkingsrecht berlaku ke luar karena orang – orang di luarpersekutuan, misalnya orang – orang dari persekutuan tetangga, hanya boleh
memungut hasil dari tanah tersebut, dan atau sudah membayar dana pengakuan di
muka serta dana ganti rugi di kemudian hari. Hak sedemikian ini, hanya dapat
dimiliki oleh orang tersebut dalam tempo yang terbatas, biasanya dalam praktek
yaitu satu kali panen saja. Dengan kemungkinan untuk dilanjutkan lagi. Orang luar
tersebut tidak akan pernah memiliki hak untuk memiliki tanah tersebut, bahkan hak
– hak mereka dapat saja dibatasi oleh persekutuan dalam hal membuat perjanjian –
perjanjian yang berhubungan dengan tanah.10
Hal lainyang dapat menimbulkan konflik di bidang pertanahan adalah karena
tidak jelasnya pembatasan daerah atau tanah persekutuan atau beschikkingsrecht.
Artinya, ukuran yang digunakan dalam bidang pertanahan menurut hukum adat
adalah konstruksi yuridis yang abstrak. Sehingga batas – batas pertanahan antara
persekutuan hukum adat yang satu dengan yang lainnya yang bertetannga sering
kali tidaklah jelas adanya.
Sehingga, ketika satu persekutuan hukum adat mengklaim batas tertentu
tanahnya, bisa jadi itu sudah dianggap melampaui batas yang telah diklaim oleh
persekutuan hukum adat tetangganya. Apabila kelak ada orang yang berkehendak
untuk membuka lahan di bidang yang adalah ‘perbatasan’ tersebut, maka konflik
pertanahan antar persekutuan hukum akan timbul dengan sendirinya. Hal yang
seperti ini seharusnya tidak terjadi apabila ada ketegasan hukum dalam bidang
pertanahan.
Hal lain yang membuat aspek sedemikian itu rawan konflik , adalah karena
adanya prinsip bahwa tanah persekutuan atau pertuanan tersebut tidak dapat
dipindahtangankan (onvervreemdbaarheid). Artinya pada waktu terjadi perbedaa
pendapat tentang kepemilikan hak antar persekutuan hukum tentang batas – batas
tanah tersebut, masing – masing persekutuan hukum akan membela haknya dengan
segala cara. Mereka tidak akan pernah mengizinkan haknya atas tanah yang telah
mereka klaim, yang mungkin telah terjadi untuk waktu yang cukup lama, lepas
begitu saja. Ada nilai magis-religi yang terdapat antara tanah persekutuan dengan
masyarakat persekutuan yang membuat prinsip itu berlaku dengan kuat di antara
mereka.
Di sinilah letak perlunya peran pemerintah atau penguasa yang lebih tinggi
untuk membuat peraturan yang memiliki atau menjamin kepastian hukum dalam
bidang pertanahan, menghindari konflik pertanahan di antara persekutuan hukum
adat.
Sekali lagi perlu ditegaskan bahwa dalam hal beschikingsrecht, yang
dimaksud adalah hak menguasai atau memakai tanah. Hal ini merupakan pendapat
dari pada Prof. Van Vollenhoven.11 Sehingga fungsi ke dalam maupun ke luar dapat
disimpulkan sebagai hak pakai oleh setiap warga masyarakat daerah persekutuan
dan tanah demi kepentingan bersama dalam masyarakat daerah persekutuan serta
persekutuan lainnya.
Sementara itu, ada juga Hak Perseorangan atau individu atas tanah.
Dalam hal ini ada beberapa hak perorangan atau individu dalam tertib hukum
masyarakat persekutuan, antara lain adalah:
Hak milik atas tanah: yaitu hak yang dimiliki oleh anggota persekutuan
terhadap hak ulayat. Pada dasarnya, yang bersangkutan belum mempunyai
kekuasaan penuh atas tanah yang dimilikinya atau dikuasainya tersebut. Artinya,
belum bisa menguasainya secara bebas, karena hak milik ini masih mempunyai
fungsi sosial. Fungsi sosial dimaksud akan terlihat dengan jelas dan dibahas lebih
lanjut dalam pokok bahasan berikutnya. Sehingga, jika seandainya persekutuan
sewaktu – waktu membutuhkan tanah itu, maka hak milik dapat menjadi hak
persekutuan kembali. Di Bali, hal seperti ini dikenal dengan istilah kelakeran.
Hak menikmati: yaitu hak yang diberikan persekutuan pada seseorang untuk
memungut hasil dari tanah tersebut untuk satu kali panen saja. Hak ini mirip dengan
hak yang dinikmati oleh orang asing atau orang luar persekutuan atas tanah
persekutuan. Hanya saja, perseorangan anggota persekutuan tidak dituntut untuk
membayar biaya atau ganti rugi tertentu.
Hak yang dibeli: yaitu hak yang diberikan pada seseorang untuk membeli
tanah dengan mengesampingkan orang lain. Hal ini terjadi karena yang membeli itu
adalah sanak saudara dari si penjual, atau tetangganya, atau berasal dari satu
anggota persekutuan yang sama.
Hak memungut hasil karena jabatan: yaitu hak yang diberi pada seseorang
atau individu yang sedang memegang jabatan tertentu di dalam persekutuan hukum
adat tersebut, dan hak itu tetap ia miliki selama memegang jabatan yang dimaksud.
Seperti yang dibahas sebelumnya, ‘tanah bengkok’ di Jawa merupakan suatu contoh
konkrit tentang hak ini.
Hak pakai: yaitu hak yang diberikan kepada seseorang untuk mengambil hasil
dari sebidang tanah. Misalnya, di Minang ada hak atau sawah pusaka, sedang
anggota – anggota persekutuan mempunyai hak pakai atas tanah – tanah bagian
sawah pusaka yang dibagikan untuk mereka untuk dipungut hasilnya yang sering
disebut ganggam bauntuiq, dimana anggota – anggota persekutuan juga
mempunyai hak pakai atas tanah kerabat yang tidak dapat dibagi – bagi, dan tokoh
– tokoh hukum adat setempat yang serupa dengan itu.12
Hak gadai dan hak sewa: yaitu hak – hak yang timbul karena perjanjian atas
tanah. Hak gadai dari si pemegang gadai, juga haknya seseorang yang menyewa
tanah dengan pembayaran uang sewa lebih dahulu.
Hak raja: yaitu hak yang diberikan pada raja untuk memungut hasil karena
kedudukannya.
3. Kedudukan Hukum Tanah Adat dan agraria Indonesia dalam
pengnanggulangan permasalahan pertanahan.
Dalam banyak peraturan perundang – undangan yang berlaku di Indonesia
saat ini, hukum adat atau adat istiadat yang memiliki sanksi, mulai mendapat
tempat yang sepatutnya sebagai suatu produk hukum yang nyata dalam
masyarakat. Dalam banyak kasus, hukum adat sedemikian dapat memberikan
kontribusi sampai taraf tertentu untuk menjamin kepastian hukum dan keadilan bagi
masyarakat. Hukum saat ini malahan dijadikan dasar pengambilan keputusan oleh
hakim, sehingga dapat terlihat bahwa hukum adat itu efisien, efektif, aplikatif dan
come into force ketika dihadapkan dengan masyarakat modern dewasa ini.
Namun, kenyataan ini tidak dengan sendirinya membuat hukum adat bebas
dari permasalahan dalam penerapan, khususnya apabila kita melihat dalam bidang
hukum tanah adat.
Ada banyak perbedaan prinsip antara hukum tanah adat regional dan hukum
agraria nasional, yang tentu saja dapat menimbulkan konflik yang cukup serius.
Perihal UUPA 1960, hukum adat dijadikan landasannya, sedangkan hak ulayat
merupakan salah satu dari lembaga – lembaga hukum adat dan kemudian
dikembangkan kepada fungsi sosial dari hak – hak atas tanah. Pasal 5 UUPA
mengatur bahwa “Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa
ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan
negara , yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia
serta dengan peraturan – peraturan yang tercantum dalam undang – undang ini, dan
dengan peraturan – peraturan yang tercantum dalam undang – undang ini , dan
denga peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur
– unsur yang bersandar pada hukum agama.”13
Lebih dari pada itu, dalam mukadimah UUPA 1960 menyatakan bahwa
berhubungan dengan apa yang tersebut dalam pertimbangan – pertimbangan di atas
perlu adanya Hukum Agraria Nasional, yang berdasar atas hukum adat tentang
tanah, yang sederhana dan menjamin kepastian hukum bagi seluruh rakyat
Indonesia, denga tidak mengabaikan unsur – unsur yang bersandar pada hukum
agama.14 Dengan demikian, dengan berlakunya UUPA 1960, kita meniadakan
dualisme hukum pertanahan dengan menundukkan kembali hukum adat pada
tempatnya sebagai landasan utama hukum agraria nasional. Namun. Perli diingat
bahwa hukum agraria nasional itu, berdasarkan atas hukum adat tanah, yang
bersifat nasional, bukan hukum adat yang bersifat kedaerahan atau regional.
Artinya, untuk menciptakan hukum agraria nasional, maka hukum adat yang ada di
seluruh penjuru nusantara, dicarikan format atau bentuk yang umum dan berlaku
bagi seluruh persekutuan adat. Tentu saja, tujuannya adalah untuk meminimalisir
konflik pertanahan dalam lapangan hukum tanah adat.
Untuk itu, dalam substansi Pasal 5 UUPA 1960 kita dapat menarik
kesimpulan, sebagaimana yang diuraikan oleh Prof. Dr. A. P. Parlindungan,SH
bahwa hukum adat yang berlaku dalam bidang pertanahan atau agraria adalah yang
terhadap kepentingan nasional (prinsip nasionalitas) , pro kepada kepentingan
negara, pro kepada sosialisme Indonesia, tidak bertentangan dengan undang –
undang atau peraturan yang lebih tinggi, dan ditambah dengan unsur agama.15
Jadi, motivasi dari hukum agraria nasional, dalam hal ini UUPA 1960 sebagai
induknya, benar – benar akan mengurangi konflik pertanahan yang dapat timbul
sebagai akibat penerapan hukum tanah adat yang bersifat kedaerahan.
Hukum agraria nasional tidak hanya tercantum dalam UUPA 1960 saja, tetapi
juga terdapat dalam peraturan perundang – undangan lainnya yang mengatur
tentang perjanjian – perjanjian ataupun transaksi – transaksi yang berhubungan
dengan tanah. Misalnya, Undang – Undang Nomor 2 tahun 1960 tentang Perjanjian
Bagi Hasil Pertanian , Undang – Undang Nomor 2 tahun 1960 tentang Penetapan
Ceiling Tanah dan Gadai tanah pertanian. Di sini dapat dilihat bahwa semua masalah hukum tanah adat secara praktis di akomodasi oleh peraturan perundang –
undangan yang dibuat oleh pemerintah (penguasa).
Bahkan dalam Undang – Undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup (UU No.23 Tahun 1997), hukum adat juga dijadikan dasar
penetapan dan pembentukannya. Dimana dalam Pasal 9 UU No.23 Tahun 1997
disebutkan bahwa pemerintah menetapkan Kebijaksanaan nasional tentang
pengelolaan lingkungan hidup dan penataan ruang dengan tetap memperhatikan
nilai – nilai agama, adat istiadat, dan lain – lain yang hidup dalam masyarakat .16
Dalam hal ini kita bisa mendapati bahwa pengelolaan dan penataan
lingkungan hidup, yang bagian utamanya adalah tanah, juga mengandalkan hukum
adat yang berlaku secara nasional untuk menjadi dasar pengaturannya. Untuk
kesekian kalinya hukum adat (hukum tanah adat) mendapat kedudukan yang tepat
dalam hal ini.
Oleh karena itu peran hukum tanah adat mulai memiliki porsi yang cukup
besar. Hukum tanah adat yang dibahas dalam pembahasan sebelumnya
menunjukkan bahwa dengan adanya tanah persekutuan dan tanah perseorangan
menunjukkan bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial, yang serupa
diatur dalam UUPA. 1960.17
Kelihatan di sini bahwa peran pemerintah atau penguasa sangat menentukan
untuk menciptakan suasana yang kondusif dalam bidang pertanahan, khususnya
hukum tanah adat. Hanya saja patut diberi perhatian bahwa karena bertitik tolak
dari peran Pemerintah tersebut, maka sering kali kebijakan – kebijakan bidang
pertanahan atau agraria memilki tendensi politik dari pada dari hukumnya.
Oleh karena itu, prinsip mendahulukan kepentingan sosial dapat diartikan
bahwa segala kebijaksanaan bidang pertanahan tidak boleh dibiarkan merugikan
kepentingan masyarakat. Tanah tidak diperkenankan semata – mata untuk
kepentingan pribadi atau kelompok, kegunaannya harus disesuaikan dengan
keadaanya dan sifat dari haknya sehingga bermanfaat, baik untuk kesejahteraan dan
kebahagiaan yang mempunyai, serta baik dan bermanfaat untuk masyarakat dan
kepentingan negara.
Kepentingan masyarakat dan kepentingan perseorangan haruslah saling
imbang mengimbangi, atau adil adanya.
Salah satu hal yang dapat menjamin kepastian hukum bidang pertanahan
adalah dengan melakukan pensertifikatan tanah adat. Pasal 19 UUPA 1960
menyatakan bahwa untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan
pendaftaran tanah di Seluruh Wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan –
ketentuan yang diatur dengan peraturan Pemerintah.18 Dengan dilakukannya
pendaftaran tanah, maka status haknya akan beridentitas yang jelas.
Untuk kondisi pertanahan di Indonesia yang sebelumnya banyak dipengaruhi
oleh hukum Eropa dan hukum tanah adat, cara yang agaknya memenuhi syarat
tersebut ialah sistem buku tanah.
Penyelengaraan tugas tersebut dibebankan kepada instansi Agraria bagian
Pendaftaran tanah dengan berpedoman pada Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun
1961 tentang Pendaftaran Tanah sebagai landasan hukum pelaksanaan
penyelenggaraan Pendaftaran Tanah.
Beberapa hal yang harus ditarik kepada perhatian kita, antara lain adalah
bentuk pendaftaran tanah untuk menjamin kepastian hukum hak atas tanah di
dalam UUPA adalah bentuk suatu kadaster hukum. Pendaftaran tanah yang dapat
menjamin kepastian hukum dari hak atas tanah dengan sepenuhnya bila memenuhi
syarat, yaitu:
a. Peta – peta Pendaftaran Tanah yang dibuat membuktikan batas –
batas bidang tanah yang ditetapkan di dalamnya sebagai batas – batas
yang sah menurut hukum. Syarat ini berkaitan dengan masalah
Pendaftaran Tanah dengan kekuasaan bukti.
b. Daftar – daftar umum yang diadakan dalam rangka pendaftaran hak
membuktikan pemegang hak yang terdaftar di dalamnya sebagai
pemegang hak yang sah menurut hukum. Syarat ini berkaitan dengan
masalah sistem pendaftaran hak atas tanah.
c. Setiap hak atas tanah serta peralihannya didaftar dalam daftar umum,
sehingga daftar – daftar itu memberikan gambaran yang lengkap yang
sesuai dengan keadaan yang sebenarnya dari hak – hak atas tanah.
Syarat ini berkaitan dengan masalah arti pendaftaranbagi peralihan
hak.19
Di sini dapat kita lihat bahwa pensertifikatan tanah mempunyai kecendrungan
atau tendensi pengaruh positif terhadap pelestarian tanah yaitu :
a. Adanya jaminan kepastian hukum bagi pemilik tanah ulayat
sebagaimana dimaksudkan di dalam Undang – Undang Pokok Agraria.
b. Meningkatkan ketertiban dalam bidang keagrarian.
4. Hukum Tanah Adat setelah berlakunya UUPA
Seperti yang telah dijelaskan dalam konsepsi UUPA, menurut konsepsi UUPA
maka tanah, sebagaimana halnya juga dengan bumi, air dan ruang angkasa
termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya yang ada di wilayah Republik
Indonesia , adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa pada Bangsa Indonesia yang
merupakan kekayaan nasional. Hubungan antara Bangsa Indonesia dengan tanahnya
dimaksud adalah suatu hubungan yang bersifat abadi.
Dalam Pasal 5 UUPA ada disebutkan bahwa Hukum Agraria yang berlaku atas
bumi, air dan ruang angkasa ialah Hukum Adat sepanjang tidak bertentangan
dengan kepentingan Nasional dan Negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa,
dengan sosialisme Indonesia serta peraturan – peraturan yang tercantum dalam
undang – undang ini dengan peraturan perundangan – undangan lainya, segala
sesuatu dengan mengindahkan unsur – unsur yang bersandar pada hukum agama.
Adanya ketentuan yang demikian ini menimbulkan dua akibat terhadap
hukum adat tentang tanah yang berlaku dalam masyarakat Indonesia, dimana di
satu pihak ketentuan tersebut memperluas berlakunya hukum adat tidak hanya
terhadap golongan Eropa dan Timur Asing. Hukum Adat di sini tidak hanya berlaku
untuk tanah – tanah Indonesia saja akan tetapi juga berlaku untuk tanah – tanah
yang dahulunya termasuk dalam golongan tanah Barat.
Setelah berlakunya ketentuan tersebut di atas, maka kewenangan berupa
penguasaan tanah – tanah oleh persekutuan hukum mendapat pembatasan
sedemikian rupa dari kewenangan pada masa – masa sebelumnya karena sejak saat
itu segala kewenangan mengenai persoalan tanah terpusat pada kekuasaan negara,
kalau demikian bagaimana kewenangan masyarakat hukum adat atas tanah yang
disebut hak ulayat tersebut, apakah juga masih diakui berlakunya atau mengalami
perubahan sebagaimana halnya dengan ketentuan – ketentuan hukum adat tentang
tanah.
Mengenai hal tersebut dapat dilihat dalam beberapa ketentua dari UUPA,
antara lain :
a. Pasal 2 ayat (4) “Hak menguasai dari Negara tersebut di atas pelaksanaannya
dapat dikuasakan kepada daerah – daerah swantanra dan masyarakat –
masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan
kepentingan Nasional, menurut Peraturan Pemerintah.”
b. Pasal 3 “ Dengan mengugat ketentuan – ketentuan dalam Pasal 1 dan 2
pelaksanaan hak ulayat dan hak – hak yang serupa dari masyarakat hukum adat
sepanjang menurut kenyataan masih ada harus sedemikian rupa sehingga sesuai
dengan kepentingan Nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan
bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang – undang dan peraturan –
peraturan yang lebih tinggi.
c. Pasal 22 ayat (1) “Terjadinya hak milik menurut hukum adat diatur dengan
peraturan Pemerintah.”
Seperti yang telah disebutkan di atas, bahwa setelah berlakunya UUPA ini,
tanah adat di Indonesia mengalami perubahan. Maksudnya segala yang
bersangkutan dengan tanah adat, misalnya hak ulayat, tentang jual beli tanah dan
sebagainya mengalami perubahan.
Jika dulu sebelum berlakunya UUPA, hak ulayat masih milik persekutuan
hukum adat setempat yang sudah dikuasai sejak lama dari nenek moyang mereka
dahulu.
Namun setelah berlakunya UUPA, hak ulayat masih diakui, karena hal ini dapat
dilihat dari pasal 3 UUPA, hak ulayat dan hak – hak yang serupa dari masyarakat
hukum adat masih diakui sepanjang dalam kenyataan di masyarakat masih ada.
Andaikata karena terjadinya proses individualis sering hak ulayat ini mulai
mendesak, yang memberikan pengakuan secara khusus terhadap hak – hak
perorangan. Dengan tumbuh dan kuatnya hak – hak yang bersifat perorangan dalam
masyarakat hukum adat mengakibatkan menipisnya hak ulayat. Hak ulayat ini diakui
oleh Pemerintah sepanjang kenyataanya masih ada. Kalau sudah ada tidaklah perlu
untuk membuat adanya hak ulayat baru.
Hak ulayat yang diakui dalam pasal tersebut bukanlah hak ulayat seperti
dengan masa sebelumnya dengan kepentingan Nasional dan negara perbatasan
dengan bahwa hak ulayat yang dimaksud tidak boleh bertentangan dengan undang –
undang dan Peraturan – peraturan lainya.
Selain itu ada juga perubahan yang terjadi pada hukum tanah adat sebelum
dan sesudah berlakunya UUPA. Hal ini dapat dilihat misalnya dalam hal ini jual beli
tanah.
Sebelum berlakunya UUPA, jual beli tanah sering dilakukan hanya secara lisan saja,
yakni penjualnya. Itu sebabnya sampai dikatakan dulu tanpa bentuk. Kemudian berkembang dengan pembuatan surat jual beli antara dua pihak. Jual beli tanah
adalah perbuatan hukum menyerahkan tanah hak oleh penjual kepada pembeli.
Perubahan lain yang terjadi misalnya dalam hal daluarsa. Dalam hukum adat
daluarsa ini menyangkut tentang hak milik atas tanah. Dulu, sesuatu bidang tanah
yang sudah dibuka atas izin pemangku adat atua kepala adat yang berwenang, maka
setelah beberapa tahun tidak dikerjakan/ditanami kembali ditutul belukar dapat
diberi peruntukan lain/baru kepada pihak yang membentuknya, akibat pengaruh
lamanya waktu dan tanah itu telah kembali kepada hak ulayat desa.
Dalam perjalan waktu, apabila izin membuka tanah dan tanahnya dimaksud
digunakan terus, maka pemegang hak itu tidak memerlukan izin lagi untuk
menggunakan tanah secara terus menerus makin lama seorang memanfaatkan
hak/izin itu, bertambah kuat hak melekat di atasnya, sampai pada akhirnya menjadi
hak milik.
Hak milik juga mengalami perubahan, sebelum berlakunya UUPA, lazimnya
didaftarkan dan dikenakan pajak hasil bmi. Walaupun peraturan perpajakan ini tidak
menentukan hak atas suatu bidang tanah, tetapi sejarah penggunaan dan pemilikan
penguasa tanah secara tidak langsung dipotong dokumentasi/administrasi
perpajakan serta pembayaran pajak tersebut. Sejak berlakunya UUPA, keadaannya
menjadi lain, akibat adanya ketentuan konversi dan politik hukum agraria yang
merubah stelel lama.
Perubahan lainnya terlihat juga di dalam pelaksanaan pembukaan tanah.
Menurut Pasal 46 UUPA, hak membuka tanah dan memungut hasil hutan hanya
dapat dipunyai oleh warga negara Indonesia yang diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Di dalam peraturan tersebut telah digariskan beberapa ketentuan mengenai
hak membuka tanah ini sebagai berikut :
1. Pasal 6 “Gubernur Kepala Daerah memberikan keputusan mengenai izin untuk
membuka tanah, jika luas tanahnya lebih dari 10 ha tetapi tidak melebihi 50 ha.”
2. Pasal 10 “Bupati/Walikota kepala Daerah memberikan keputusan mengenai izin
untuk membuka, jika luasnya dari 2 ha tetapi tidak lebih dari 10 ha.”
3. Pasal 11 “Kepala Keamana memberikan keputusan mengenai izin membuka
tanah jika luasnya lebih dari 2 ha dengan memperhatikan pertimbangan kepala
desa yang bersangkutan atau pejabat yang setingkat dengan itu.”
Dari ketentuan tersebut diatas, kelihatan mengenai persoalan pembukaan
tanah ini tidak lagi dikaitkan dengan Hukum Adat tetapi sudah dipandang sebagai
suatu kewenangan administratif.
Dengan demikian jelaslah sudah bahwa hukum tanah adat di Indonesia telah
mengalami perkembangan dalam berbagai hal, karena ini disesuaikan dengan
adanya perkembangan zaman tidak tertulis, tepat keberadaannya masih tetap
dipandang kuat oleh para masyarakat. Begitu juga kiranya dengan tanah adat yang
sudah merupakan bagian dari diri mereka dan tetap dipertahankan kelestariannya
jika ada pihak – pihak yang ingin merusaknya. Memang, setelah perkembangan
zaman ditambah lagi setelah berlakunya UUPA, hukum tanah adat masih tetap diakui
sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan Nasional dan Negara.


BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Dapat disimpulkan bahwa hukum adat yang berlaku di Indonesia
menunjukkan adanya suatu nuansa kehidupan atau fungsi sosial dari tanah, terlebih
lagi dalam pembagian tanah persekutuan dan tanah perseorangan atau individu.
Juga dapat dilihat bagaimana pembagian hak – hak atau pengaturan hak –
hak atas tanah adat menunjukkan adanya upaya untuk menertibkan pemakaian
tanah adat sehingga benar – benar menjamin keadilan. Namun, kepastian hukum
tidak terjamin dengan hanya mengandalkan hukum tanah adat belaka, karena aspek
penerapan prinsip konstuksi yurisdis abstrak dalam hukum tanah adat.
Di sinilah kedudukan peran pemerintah selaku penguasa untuk menetapkan
suatu teknis pendaftaran tanah adat untuk menjamin adanya kepastian hukum
dalam bidang agraria.
Pemerintah melalui berbagai cara telah berusaha untuk memberikan jaminan
kepastian hukum atas tanah adat. Melihat luasnya tanah yang belum terdaftar dan
dibandingkan dengan kemampuan aparat dan dana yang tersedia, maka menurut
perkiraan akan memakan waktu yang cukup lama untuk dapat menyelesaikan
pendaftaran tanah tersebut secara keseluruhan.
Di samping usaha – usaha Pemerintah untuk memberikan jaminan dan
kepastian hak atas tanah masih ada kekhawatiran tertentu untuk gagasan
pendaftaran tanah dan sertifikasi tanah adat, karena akan mengurangi kelestarian
tanah – tanah adat itu sendiri.
Tentu saja ini tidak beralasan. Karena usaha di bidang pendaftaran tanah
jelas bertujuan untuk memberikan kepastian hukum kepada pemegang hak dan
demikian juga kepada objek, sehingga dapat dihindarkan persengketaan –
persengketaan yang tidak perlu terjadi.
Dengan mendaftarkan tanah adat berdasarkan peraturan perundangan
sembari memperhatikan hukum tanah adat yang berlaku secara nasional,
sebenarnya kita telah memberikan suatu tanda kepada tanah itu, mana yang bisa
dialihkan, mana yang bisa diwariskan.
Tentu saja usaha - usaha Pemerintah untuk menjaga jangan sampai ada
penyimpangan dari ketentuan adat yang berlaku di bidang tanah, dimulai dengan
surat tanda bukti penguasaan dan pemilikan tanah.
Saran
Di sini dapat kita lihat bahwa pensertifikatan tanah mempunyai kecendrungan
atau tendensi pengaruh positif terhadap pelestarian tanah yaitu:
a. Adanya jamina kepastian hukum bagi pemilik tanah ulayat sebagaimana
dimaksudkan di dalam Undang- Undang Pokok Agraria,
b. Meningkatkan ketertiban dalam bidang keagrarian.
c. Bahwa perlu lebih ditingkatkan penyuluhan dan sosialisasi serta informasi
kepada masyarakat luas akan pentingnya hak – hak atas tanah serta
pendaftarannya.
nasional.
Daftar Pustaka
- ABDURRAHMAN,SH.
Hukum Adat Menurut Perundang – Undangan Republik Indonesia;
Cendana Press; Jakarta;1984.
- AHMAD FAUZIE RIDWAN, Prof,Dr,SH.
Hukum Tanah Adat – Multi disiplin Pembudayaan Pancasila; Dewa Ruci
Press; Jakarta; 1982
- E. Utrecht,Dr,SH.
Pengantar Dalam Hukum Indonesia; PT.Penerbitan dan Balai Buku Ichtiar;
Jakarta;1962
- HADIKUSUMA,HILMAN,Prof,H,SH.
Sejarah Hukum Adat Indonesia; Alumni; Bandung;1983.
…………………..Hukum Perjanjian Adat, PT; Citra Aditya Bakti; Bandung;1993.
- KOESNADI HARDJASOEMANTRI, Prof,Dr,SH,ML.
Hukum Tata Lingkungan; Gadjah Mada University Press; Yogyakarta; 2000
- PARLINDUNGAN,AP,Prof,Dr,SH.
Komentar Atas Undang – Undang Pokok Agraria; Mandar Maju; Bandung;
1998
- Mr.TER HAAR BZN
Asas – Asas dan Susunan Hukum Adat; Pradnya Paramita; Jakarta; 1981
- Sajuti Thalib,SH
Hubungan Tanah Adat dengan Hukum Agraria di Minangkabau; Bina
Aksara; Jakarta; 1985