Cari Blog Ini

Sabtu, 16 Januari 2010

resume asas legalitas

asas legalitas merupakan instrumen penting perlindungan kemerdekaan individu saat berhadapan dengan negara. Karena dengan asas legalitas perbuatan yang dapat dihukum menjadi otoritas peraturan, bukan kekuasaan.

sejarah kemunculan asas legalitas

Legalitas pada pemunculannya memang punya intensi HAM, makanya…makin besar kebebasan manusia warga, makin kecil juga lex yang dibuat untuk mencampuri hak-hak manusia yang terbilang warga itu. Akar gagasan asas legalitas berasal dari ketentuan Pasal 39 Magna Charta (1215) di Inggris, yang menjamin adanya perlindungan rakyat dari penangkapan, penahanan, penyitaan, pembuangan, dan dikeluarkannya seseorang dari perlindungan hukum/undang-undang, kecuali ada putusan peradilan yang sah. Ketentuan ini diikuti Habeas Corpus Act (1679) di Inggris yang mengharuskan seseorang yang ditangkap diperiksa dalam waktu singkat. Pasca lahirnya Magna Charta dan Habeas Corpus Act, jaminan atas hak dan kewajiban rakyat kemudian berubah menjadi asas-asas hukum. Asas-asas hukum ini dirumuskan dalam hukum tertulis, agar memiliki jamian kepastian hukum (rechtszekerheid). Asas legalitas ini berkembang ke prancis dan Montesquieu lewat bukunya L’esprit des Lois (1748) dan bukunya Rousseau “Dus Contrat Social, ou principes du droit politique” (1762) memperkenalkan pemikiran asas legalitas, sebagai bentuk perlawanan terhadap konsep Let’s ces moi, yang didengungkan Raja Prancis saat itu (Raja LOUIS XIV). Selain perkembangan dari inggris asas legalitas juga sudah berkembang di America, dan turut mempengaruhi sistem hukum di Prancis, hal ini di kemukakan oleh Marquis de Lafayette, seorang sahabat George Washington. Di Amerika, ketentuan asas legalitas sudah dicantumkan dalam Declaration of Independence 1776, di sana disebutkan tiada seorang pun boleh dituntut atau ditangkap selain dengan, dan karena tindakan-tindakan yang diatur dalam, peraturan perundang-undangan. Pemikiran asas legalitas kemudian diimplementasikan sebagai undang-undang dalam Pasal 8 Declaration des droits de L’homme et du citoyen (1789). Asas ini kemudian dimasukkan dalam Pasal 4 Code Penal Perancis pada masa pemerintahan Napoleon Bonaparte (1801). Bunyi ketentuan ini adalah bahwa “ Tidak ada sesuatu yang boleh dipidana selain karena suatu wet yang ditetapkan dalam undang-undang dan diundangkan secara sah.” Salah satu tokoh yang memiliki peran penting pada masa itu adalah Beccaria, yang dalam bukunya “Dei delitti e drllee pene” (Over misdaden en straffen 1764) juga menyatakan bahwa individu harus dilindungi dari perbuatan sewenang-wenang.
Perjalanan selanjutnya, Von Feuerbach seorang sarjana Jerman, merumuskan adagium “Nullum delictum, nulla poena sine praevia lege poenali.” Bahwa tidak delik, tidak ada pidana tanpa peraturan lebih dahulu. Adagium ini terkandung dalam bukunya Lehrbuch des peinlichen Rechts (1801). Asas legalitas yang dikemukakan oleh Feuerbach mengandung tiga pengertian:
1)Tidak ada perbuatan dapat dipidana, apabila belum diatur dalam undang-undang.
2)Dalam menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi.
3)Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut (non retroaktif).

Ketentuan asas legalitas diakui pertama kali oleh konstitusi Amerika Serikat tahun 1783, dicantumkan dalam Article I Section 9 yang berbunyi: “No bill of attainder or ex post pacto law shall be passed”. Lalu diikuti oleh Perancis di dalam Declaration des droits de L’homme et du citoyen 1789. Selanjutnya ketentuan ini diikuti oleh negara-negara yang menganut sistem hukum Eropa Kontinental –kepastian hukum dijunjung tinggi-.

resume sistem hukum

arti Sistem hukum adalah kesatuan/keseluruhan kaedah hukum yang berlaku di negara-negara/ daerah.
sistem mempunyai ciri-ciri
>>terdiri dari komponen komponen yang satu sama lain berhubungan ketergantungan dan dalam keutuhan organisasi yang teratur serta terintegrasi.
arti sistem dalam kaitannya dengan hukum
>>suatu susunan atau tatanan yang teratur, suatu keseluruhan yang terdiri atas bagian-bagian yang berkaiotan satu sama lain, tersusun menurut suatu rencana atau pola, hasil dari suatu penulisan untuk mencapai suatu tujuan
>>>>Ada berbagai jenis sistem hukum yang berbeda yang dianut oleh negara-negara di dunia pada saat ini, antara lain
>>Sistem hukum Eropa Kontinental
Sistem hukum Eropa Kontinental adalah suatu sistem hukum dengan ciri-ciri adanya berbagai ketentuan-ketentuan hukum dikodifikasi (dihimpun) secara sistematis yang akan ditafsirkan lebih lanjut oleh hakim dalam penerapannya. Hampir 60% dari populasi dunia tinggal di negara yang menganut sistem hukum ini.
>>Sistem hukum Anglo-Saxon
Sistem hukum Anglo-Saxon adalah suatu sistem hukum yang didasarkan pada yurisprudensi, yaitu keputusan-keputusan hakim terdahulu yang kemudian menjadi dasar putusan hakim-hakim selanjutnya. Sistem hukum ini diterapkan di Irlandia, Inggris, Australia, Selandia Baru, Afrika Selatan, Kanada (kecuali Provinsi Quebec) dan Amerika Serikat (walaupun negara bagian Louisiana mempergunakan sistem hukum ini bersamaan dengan sistim hukum Eropa Kontinental Napoleon). Selain negara-negara tersebut, beberapa negara lain juga menerapkan sistem hukum Anglo-Saxon campuran, misalnya Pakistan, India dan Nigeria yang menerapkan sebagian besar sistem hukum Anglo-Saxon, namun juga memberlakukan hukum adat dan hukum agama. Sistem hukum anglo saxon, sebenarnya penerapannya lebih mudah terutama pada masyarakat pada negara-negara berkembang karena sesuai dengan perkembangan zaman.Pendapat para ahli dan prakitisi hukum lebih menonjol digunakan oleh hakim, dalam memutus perkara.
>>Sistem hukum adat/kebiasaan
Hukum Adat adalah adalah seperangkat norma dan aturan adat/kebiasaan yang berlaku di suatu wilayah.
>>Sistem hukum agama
Sistem hukum agama adalah sistem hukum yang berdasarkan ketentuan agama tertentu. Sistem hukum agama biasanya terdapat dalam Kitab Suci.

sistem-sistem hukum

arti Sistem hukum adalah kesatuan/keseluruhan kaedah hukum yang berlaku di negara-negara/ daerah.
sistem mempunyai ciri-ciri
>>terdiri dari komponen komponen yang satu sama lain berhubungan ketergantungan dan dalam keutuhan organisasi yang teratur serta terintegrasi
arti sistem dalam kaitannya dengan hukum
>>suatu susunan atau tatanan yang teratur, suatu keseluruhan yang terdiri atas bagian-bagian yang berkaiotan satu sama lain, tersusun menurut suatu rencana atau pola, hasil dari suatu penulisan untuk mencapai suatu tujuan


>>>>Ada berbagai jenis sistem hukum yang berbeda yang dianut oleh negara-negara di dunia pada saat ini, antara lain sistem hukum Eropa Kontinental, sistem hukum Anglo-Saxon, sistem hukum adat, sistem hukum agama.
>>Sistem hukum Eropa Kontinental
Sistem hukum Eropa Kontinental adalah suatu sistem hukum dengan ciri-ciri adanya berbagai ketentuan-ketentuan hukum dikodifikasi (dihimpun) secara sistematis yang akan ditafsirkan lebih lanjut oleh hakim dalam penerapannya. Hampir 60% dari populasi dunia tinggal di negara yang menganut sistem hukum ini.
>>Sistem hukum Anglo-Saxon
Sistem Anglo-Saxon adalah suatu sistem hukum yang didasarkan pada yurisprudensi, yaitu keputusan-keputusan hakim terdahulu yang kemudian menjadi dasar putusan hakim-hakim selanjutnya. Sistem hukum ini diterapkan di Irlandia, Inggris, Australia, Selandia Baru, Afrika Selatan, Kanada (kecuali Provinsi Quebec) dan Amerika Serikat (walaupun negara bagian Louisiana mempergunakan sistem hukum ini bersamaan dengan sistim hukum Eropa Kontinental Napoleon). Selain negara-negara tersebut, beberapa negara lain juga menerapkan sistem hukum Anglo-Saxon campuran, misalnya Pakistan, India dan Nigeria yang menerapkan sebagian besar sistem hukum Anglo-Saxon, namun juga memberlakukan hukum adat dan hukum agama. Sistem hukum anglo saxon, sebenarnya penerapannya lebih mudah terutama pada masyarakat pada negara-negara berkembang karena sesuai dengan perkembangan zaman.Pendapat para ahli dan prakitisi hukum lebih menonjol digunakan oleh hakim, dalam memutus perkara.
>>Sistem hukum adat/kebiasaan
Hukum Adat adalah adalah seperangkat norma dan aturan adat/kebiasaan yang berlaku di suatu wilayah.
>>Sistem hukum agama
Sistem hukum agama adalah sistem hukum yang berdasarkan ketentuan agama tertentu. Sistem hukum agama biasanya terdapat dalam Kitab Suci.

asas-asas hukum

ASAS – ASAS HUKUM DI INDONESIA• Nullum crimen nulla poena sine legeTidak ada kejahatan tanpa peraturan perundang – undangan yang mengaturnya• Lex superiori derogat lege prioriPeraturan yang lebih tinggi mengesampingkan peraturan yang lebih rendah , lihat dalam pasal 7 UU No.10 Tahun 2004• Lex posteriori derogat lege prioriPeraturan yang terbaru mengesampingkan peraturan yang sebelumnya . pahami juga lex prospicit , non res cipit.• Lex specialis derogate lege generaliPeraturan yang lebih khusus mengesampingkan peraturan yang bersifat lebih umum , lihat Pasal 1 KUHD.• Res judicata pro veritate habeteurPutusan hakim dianggap benar sampai ada putusan hakim lain yang mengoreksinya• Lex dura set tamen scriptaUndang – undang bersifat memaksa , sehingga tidak dapat diganggu gugat• Die normatieven kraft des faktischenPerbuatan yang dilakukan berulang kali memiliki kekuatan normative , lihat Pasal 28 UU No.4 tahun 2004Analisis – analisis :• Nullum crimen nulla poena sine legeTidak ada kejahatan tanpa peraturan perundang – undangan yang mengaturnya? Bahwa semua kejahatan yang terjadi diindonesia adalah yang melanggar undang – undang . karena pernyataan diatas menyatakan bahwa tidak ada kejahatan tanpa peraturan perundang – undangan yang mengaturnya,jadi suatu tindak kejahatan dikatakan sebagai perbuatan melanggar hukum apabila melanggar undang – undang yang telah ditetapkan oleh pemerintah.• Lex superiori derogat lege prioriPeraturan yang lebih tinggi mengesampingkan peraturan yang lebih rendah , lihat dalam pasal 7 UU No.10 Tahun 2004• Lex posteriori derogat lege prioriPeraturan yang terbaru mengesampingkan peraturan yang sebelumnya . pahami juga lex prospicit , non res cipit.• Lex specialis derogate lege generaliPeraturan yang lebih khusus mengesampingkan peraturan yang bersifat lebih umum , lihat Pasal 1 KUHD.• Res judicata pro veritate habeteurPutusan hakim dianggap benar sampai ada putusan hakim lain yang mengoreksinya• Lex dura set tamen scriptaUndang – undang bersifat memaksa , sehingga tidak dapat diganggu gugat• Die normatieven kraft des faktischenPerbuatan yang dilakukan berulang kali memiliki kekuatan normative , lihat Pasal 28 UU No.4 tahun 2004

kaidah hukum

PEMAHAMAN MENGENAI

NORMA ATAU KAIDAH HUKUM

(Disarikan dari buku JJH Bruggink : Refleksi tentang Hukum)

penyari :

SUHARIYONO AR

Aturan Hukum dan Kaidah Hukum akan dituangkan dalam 4 sub judul, yakni uraian

mengenai:

1. aturan hukum dan kaidah hukum (secara umum);

Ad. 1.
Aturan hukum pada dasarnya suatu bentuk pernyataan (uitspraak) yang terkait
dengan hukum. Aturan hukum, pada dasarnya, berasal dari kaidah hukum atau norma
hukum (rechtsnorm). Kaidah hukum merupakan proposisi suatu aturan hukum karena arti
dari suatu kalimat atau pernyataan adalah sama dengan proposisi dari kalimat atau
pernyataan tersebut. (Proposisi = rancangan usulan; ungkapan yang dapat dipercaya,
disangsikan, disangkal atau dibuktikan benar tidaknya = diambil dari KBBI). Kaidah
hukum dapat pula diartikan sebagai satuan bahasa yang lebih luas yakni aturan hukum.
Isi pengertian/intensi (begripsinhoud) dan lingkup pengertian/ekstensi
(begripsomvang) dapat disusun dalam suatu kaidah hukum. Isi kaidah (norminhoud)
adalah keseluruhan ciri unsur-unsur yang mewujudkan kaidah itu. Lingkup kaidah
(normomvang) adalah wilayah penerapan (toepassingsgebied) kaidah yang bersangkutan.
Arti suatu aturan hukum harus ditautkan dengan isi kaidahnya. Dari instensi dan ekstensi
di atas, terdapat 2 dalil, yakni:
“ISI KAIDAH MENENTUKAN WILAYAH PENERAPAN”
“ISI KAIDAH BERBANDING TERBALIK DENGAN WILAYAH PENERAPAN”
Dalil di atas menyatakan bahwa semakin sedikit isi kaidah hukum memuat ciriciri,
maka wilayah penerapannya semakin besar. Sebaliknya, semakin banyak isi kaidah
hukum memuat ciri-ciri, maka wilayah penerapannya semakin kecil. Perumusan kaidah
hukum digantungkan pada pembentuk peraturan, apakah akan memuat banyak ciri-ciri
atau tidak. Jika hakim dalam penerapan kaidah hukumnya memperluas isi, maka yang
berubah itu isinya, bukan aturan hukumnya. Yang terakhir ini sebagai interpretasi hakim
(bisa penafsiran ekstensif atau restrriktif dengan cara mengurangi atau menambah ciriciri).
tanda
arti
yang berarti
Dari skema di atas, dapat diambil contoh tentang kaidah hukum yang telah kita
kenal dalam KUHP, misalnya delik biasa dan delik pemberatan (pencurian biasa dan
pencurian pada malam hari atau pencurian disertai dengan kekerasan), penganiayaan
ringan, berat, dan mengakibatkan mati. Contoh di atas juga berlaku bagi aturan hukum
yang tidak tertulis (sebagai aturan yang belum ditetapkan atau dipositifkan oleh pejabat
Aturan Hukum
Kaidah Hukum
Wilayah Penerapan

yang berwenang). Mengenai aturan hukum yang tidak tertulis ini diperdebatkan apakah
sebagai hukum positif atau tidak. Hal ini termasuk juga dipersoalkan mengenai putusan
hakim yang tidak mendasarkan pada hukum positif.

2. kaidah hukum sebagai perintah;

Ad. 2
Prototipe (model awal sebagai contoh) kaidah hukum adalah “perintah” bagi
setiap orang (umum) sebagai dasar penguat bagi pemerintah (penguasa) untuk
menegakkan hukum. Jangkauan perintah untuk setiap orang (umum) harus dipenuhi bagi
kaidah hukum.
Jika kaidah hukum sebagai perintah, maka adanya kaidah hukum itu harus tertulis
karena terkait dengan seseorang yang memberi perintah dan yang diberi perintah. Kaidah
hukum tidak tertulis tidak ada yang memberi perintah. Di samping itu, perintah berkaitan
dengan yang dialamatkan dan yang mengalamatkan. Kaidah hukum harus sampai kepada
yang dialamatkan (yang diperintah). Kadangkala kaidah hukum lebih dari perintah karena
yang diberi perintah mengharapkan, di samping taat atas perintah, juga mengemban
kewajiban terhadap orang lain yang terlibat dalam pergaulan sosial. Dari hal inilah kaidah
hukum sebagai perintah dapat ditipikasi. Jadi, kaidah adalah kaidah sosial yang
mengarahkan diri pada perbuatan mereka yang menjadi warga masyarakat tempat kaidah
hukum berlaku. Glastra van Loon/Bohtlingk mengatakan bahwa aturan-aturan hukum
mengatur hubungan-hubungan pergaulan dan bagaimana antarmereka berperilaku.
Kaidah hukum timbul dari kesadaran hukum para warganya.
Herbert Hart (menolak terhadap teorinya John Austin) yang mengatakan bahwa
kepatuhan terhadap kaidah hukum lebih banyak paksaan daripada kepatuhan itu sendiri.
Jadi, orang patuh semata-mata karena ia dipaksa untuk itu. Hart mengajarkan bahwa tidak
semua kaidah hukum terdiri atas aturan perilaku sosial, tetapi ada jenis kaidah lain yang
berkaitan dengan perilaku sosial warga masyarakat hukum, misalnya kaidah prosedur,
kaidah kewenangan, kaidah peralihan, dan kaidah pengakuan. Yang terakhir ini disebut
jenis metakaidah. Kaidah perilaku diistilahkan “primary rules”, sedangkan untuk meta
kaidah diistilahkan “secondary rules”.

3. jenis kaidah hukum;

Ad. 3

Berkaitan dengan kaidah perilaku, Stig Stromholm mengadakan pembedaanantara kaidah primer yang memuat perintah perilaku dan kaidah sekunder yangmenetapkan sanksi apa yang harus dikenakan jika kaidah primer dilanggar.Di bawah ini dibahas mengenai kaidah perilaku dan meta kaidah untukmenghindari kesalahpahaman pembedaan antara kaidah primer dan kaidah sekunder.

a. kaidah hukum sebagai kaidah perilaku;

Ad. 3. a.

Perintah perilaku mewujudkan isi kaidah yang dapat menampilkan diri dalam berbagaiwajah. Penggolongan isi kaidah (pada umumnya) adalah :1) perintah (gebod), adalah kewajiban umum untuk melakukan sesuatu;2) larangan (verbod), adalah kewajiban umum untuk tidak melakukan sesuatu;3) pembebasan (vrijstelling, dispensasi), adalah pembolehan (verlof) khusus untuk tidakmelakukan sesuatu yang secara umum diharuskan;4) izin (toestemming), adalah pembolehan khusus untuk melakukan sesuatu yang secaraumum dilarang.Bandingkan dengan A. Hamid S. Attamimi dalam disertasinya “Peranan KeputusanPresiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara”. Padahalaman 314 s.d. 316 disebutkan bahwa norma yang ada dalam peraturan perundangundanganmengandung salah satu sifat-sifat di bawah ini, yakni :a. perintah (gebod);b. larangan (verbod);c. pengizinan (toestemming); dand. pembebasan (vrijstelling).Berdasarkan ilmu tentang logika norma (normenlogica) yang membicarakan antara lainkuadrat norma (normen kwadraat) yakni hubungan normlogis antara keempat operatornorma tersebut dapat dikembangkan lebih jauh melalui hubungan ekuivalensi,pertentangan kontradiktor, pertentangan kontrer, hubungan subkontrer, dan hubungansubsltern atau implikatif. Dengan demikian, sifat norma hukum yang empat besertapengembangannya itulah yang biasanya tercantum dalam peraturan perundang-undangan.www.legalitas.orgwww.legalitas.org5Pendapat Hamid di atas tidak jauh berbeda dengan uraian di bawah ini yang mengupasempat perilaku norma dan hal ini sekadar sebagai pelengkap dan pembanding. Jikadiuraikan lebih lanjut, empat perilaku di atas mempunyai hubungan satu sama lain yangjuga dapat memperlihatkan hubungan logikal tertentu, yakni :1) Perintah dan larangan saling mengecualikan atau keduanya terdapat pertentangan.Dalam logika, hubungan antara keduanya disebut kontraris yakni hubungan duaproposisi umum atau universal (dua-duanya berkenaan dengan kewajiban umum)yang berbeda dalam kualitasnya (yang satu berkenaan dengan melakukan sesuatu,yang lainnya berkenaan dengan tidak melakukan sesuatu).2) Perintah mengimplikasikan izin. Jika orang mengemban kewajibkan untukmelakukan sesuatu, maka orang tersebut juga mempunyai izin untuk melakukan halitu. Sebaliknya, larangan mengimplikasikan pembebasan. Jika orang mempunyaikewajiban untuk tidak melakukan sesuatu, maka orang tersebut juga mempunyai izinuntuk tidak melakukan sesuatu itu. Jadi, terdapat implikasi secara respektif antaraperintah dan izin serta antara larangan dan dispensasi, artinya jika perilaku tertentudiperintahkan, maka orang itu juga mempunyai izin untuk berperilaku demikian, danjika perilaku tertentu dilarang, maka orang itu juga dibebaskan dari keharusan untukberperilaku demikian. Dalam logika, hubungan yang demikian disebut subalternasiyakni terdapat antara proposisi universal dan proposisi partikular (hubungan iniberkenaan dengan di satu pihak suatu kewajiban umum dan di lain pihak suatukebolehan khusus) yang kualitasnya sama (melakukan sesuatu dan tidak melakukansesuatu).3) Antara izin dan dispensasi (pembebasan) tidak saling menggigit karena orang dapatmempunyai izin untuk melakukan sesuatu dan pada saat yang sama ia dapatmempunyai izin untuk tidak melakukan hal itu. Jika perilaku tertentu diperbolehkan,maka terdapat kemungkinan pada waktu yang bersamaan ia juga dibebaskan darikeharusan untuk berperilaku demikian. Namun tidak mungkin terjadi bahwa perilakutertentu tidak diperbolehkan dan orang juga tidak dibebaskan (dari keharusan) untukberperilaku demikian. Hubungan ini dalam logika disebut hubungan subkontraris.4) Antara perintah dan dispensasi, seperti juga larangan dan izin, tidak dapat berlakubersama-sama. Bukankah orang tidak dapat mempunyai kewajiban untuk melakukanwww.legalitas.orgwww.legalitas.org6sesuatu, sedangkan ia juga diizinkan untuk tidak melakukan hal itu. Begitu jugaorang tidak dapat mempunyai kewajiban untuk tidak melakukan sesuatu, padahalpada saat yang sama ia juga diperbolehkan untuk melakukan hal itu. Jadi, secararespektif antara perintah dan dispensasi serta antara larangan dan izin terdapatperlawanan. Jika perilaku tertentu diperintahkan maka orang tidak dapat dibebaskandarinya, dan jika perilaku tertentu dilarang maka orang tidak dapat memiliki izinuntuk melakukan hal itu. Namun dapat terjadi bahwa berkenaan dengan perilakutertentu tidak terdapat perintah atau dispensasi, atau tidak terdapat larangan atau izin.Hubungan ini dalam logika disebut hubungan kontradiksi.perintah kontraris larangansubalternasi kontradiksi subalternasiizin subkontraris dispensasi

b. kaidah hukum sebagai meta kaidah;

Ad. 3. b.

Di samping kaidah perilaku, terdapat kelompok besar kaidah yang menentukan sesuatuberkenaan dengan kaidah perilaku itu sendiri, yang disebut dengan metakaidah. Hartmenyebut 3 macam metakaidah, dan sarjana lain menambahkan 2 macam yakni :1) kaidah pengakuan (kaidah perilaku mana yang di dalam masyarakat hukum tertentuharus dipatuhi, misalnya larangan undang-undang berlaku surut);2) kaidah perubahan (kaidah yang menetapkan bagaimana suatu kaidah perilaku dapatdiubah, misalnya undang-undang tentang perubahan);3) kaidah kewenangan (kaidah yang menetapkan oleh siapa dan dengan melaluiprosedur yang mana kaidah perilaku ditetapkan dan bagaimana kaidah perilaku harusditerapkan, misalnya tentang kekuasaan kehakiman).4) kaidah definisi; dan5) kaidah penilaian.

c. kaidah mandiri dan kaidah tidak mandiri;


Ad. 3. c.
Kaidah ini hanya dapat dikemukakan suatu contoh bahwa kaidah perilaku berupa
larangan atau perintah merupakan kaidah mandiri. Dalam hal larangan dan perintah
tersebut terdapat dispensasi atau izin, maka dispensasi dan izin adalah sebagai kaidah
yang tidak mandiri karena sebagai penunjang kaidah mandiri.


KAIDAH-KAIDAH HUKUM
kaidah perilaku metakaidah
kaidah primer (H) kaidah sekunder (H)
(berkenaan kaidah perilaku)
kaidah primer (S) kaidah sekunder (S)
(kaidah sanksi)
kewajiban umum kebolehan khusus
perintah larangan dispensasi izin
terhadapnya diarahkan untuk
tidak melakukan sesuatu
terhadapnya diarahkan untuk
melakukan sesuatu
1. kaidah pengakuan;
2. kaidah perubahan;
3. kaidah kewenangan;
4. kaidah definisi;
5. kaidah penilaian.
hukum publik: hukum perdata:
1. pembentukan UU; 1. kaidah kualifikasi;
2. kehakiman; 2. kaidah kewenangan;
3. pemerintahan 3. kaidah prosedural

4. perumusan kaidah hukum dalam aturan hukum

Ad. 4

Berkenaan dengan aturan hukum yang terdiri atas kaidah hukum primer dan

kaidah sekunder dapat muncul berbagai variasi. Kaidah primer dan sekunder dapat

dirumuskan secara terpisah. Kaidah primer dapat memuat banyak unsur dan unsur-unsur

tersebut dapat disusun secara kumulatif dan juga alternatif.

Penggunaan istilah untuk kaidah perintah dan larangan, juga pembebasan dan

izin, sering mengalami kesulitan dalam menentukan diksi atau pilihan kata. Dalam

beberapa ketentuan, sering tidak konsisten dalam penggunaannya.

Pilihan Kata (diksi) Penormaan

Di Belanda, kata Bruggink, pilihan kata untuk penormaan (operator norma) juga

menimbulkan permasalahan bahasa yang juga sering berpengaruh pada kepastian hukum

karena ketidakkonstenan penggunaan istilah. Norma perintah dinyatakan dengan

bantuan kata “mengharuskan” (moeten) atau dengan ungkapan seperti “terikat untuk”

(gehouden zijn tot) atau “berkewajiban untuk” (verplicht zijn tot). Norma larangan,

perancang menggunakan kata “tidak boleh” (niet mogen) atau “dilarang” (het is

verboden).

Kesimpulan :

Kaidah hukum diungkapkan dalam aturan hukum dengan banyak cara yang berbeda. Dari

sudut pandangan teori hukum, ada usaha untuk membela pendapat bahwa kaidah hukum

itu adalah perintah. Pandangan ini oleh penulis ditolak. Kaidah hukum tidak hanya

memainkan peranan dalam hubungan antara pemberi perintah dan penerima perintah,

melainkan mempunyai jangkauan yang lebih luas. Kaidah hukum adalah kaidah sosial

yang hidup dalam masyarakat dan para para justisiabel mempertautkan harapan-harapan,

terlepas apakah aturan hukum itu secara langsung ditujukan kepada mereka atau tidak.

Aturan hukum harus dirumuskan dalam bentuk sintaksis yang tepat agar tidak

menimbulkan penafsiran karena aturan hukum akan dibaca dalam optik yang berbeda

legalitas hukum dalam rancangan KUHP 2005

BAB I
PROBLEMATIKA ASAS LEGALITAS
DALAM RANCANGAN KUHP
Dalam Rancangan KUHP, asas legalitas telah diatur secara berbeda dibandingkan Wetboek van Straftrecht (WvS). Asas legalitas pada dasarnya menghendaki: (i) perbuatan yang dilarang harus dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan, (ii) peraturan tersebut harus ada sebelum perbuatan yang dilarang itu dilakukan. Tetapi, adagium nullum delictum, nulla poena sine praevia lege poenali telah mengalami pergeseran, seperti dapat dilihat dalam Pasal 1 Rancangan KUHP berikut ini:
(1) Tiada seorang pun dapat dipidana atau dikenakan tindakan, kecuali
perbuatan yang dilakukan telah ditetapkan sebagai tindak pidana
dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat
perbuatan itu dilakukan.
(2) Dalam menetapkan adanya tindak pidana dilarang menggunakan analogi.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak mengurangi
berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan
bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak
diatur dalam peraturan perundang undangan.
(4) Berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) sepanjang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila
dan/atau prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat
bangsa-bangsa.
Sebagian ahli hukum pidana menganggap bahwa pengaturan tersebut merupakan perluasan
dari asas legalitas. Tetapi, sebagian lagi menganggap pengaturan tersebut sebagai
kemunduran, terutama bunyi Pasal 1 ayat (3). Akibatnya, timbul perdebatan di antara para yuris Indonesia, bahkan yuris Belanda. Perdebatan ini seolah mengulang perdebatan lama ketika Kerajaan Belanda akan memberlakukan KUHP di Hindia Belanda, yaitu apakah
akan diberlakukan bagi seluruh lapisan masyarakat di Hindia Belanda atau tidak.1 Namun,
Van Vollenhoven menentang keras jika KUHP diberlakukan juga kepada pribumi.
Pengaturan Pasal 1 ayat (3) Rancangan KUHP kontradiktif dengan Pasal 1 ayat (2) yang
melarang penggunaan analogi. Padahal Pasal 1 ayat (3), menurut Prof. Andi Hamzah,
merupakan analogi yang bersifat gesetz analogi, yaitu analogi terhadap perbuatan yang
sama sekali tidak terdapat dalam hukum pidana. Selanjutnya, menurut Prof. Andi Hamzah,
1 Pada saat itu masyarakat Hindia Belanda dibagi ke dalam tiga kelompok, yaitu: Eropa, Timur
Asing, dan Pribumi.
POSITION PAPER ADVOKASI RUU KUHP SERI #1
“Asas Legalitas Dalam Rancangan KUHP”
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) 4
pelarangan analogi dalam Pasal 1 ayat (2) lebih pada recht analogi, yaitu analogi terhadap
perbuatan yang mempunyai kemiripan dengan perbuatan yang dilarang oleh hukum pidana.
Melalui pengaturan Pasal 1 ayat (3) Rancangan KUHP, bisa saja seseorang dapat dituntut
dan dipidana atas dasar hukum yang hidup dalam masyarakat, walaupun perbuatan tersebut
tidak dinyatakan dilarang dalam perundang-undangan. Padahal, seharusnya asas legalitas
merupakan suatu safeguard bagi perlindungan, penghormatan dan penegakan hak asasi
manusia, yang menghendaki adanya batasan terhadap penghukuman terhadap seseorang.
Selain itu, hukum yang hidup dalam masyarakat (The Living Law) sangat luas
pengertiannya. Tercakup di situ antara lain hukum adat, hukum kebiasaan, hukum lokal,
bahkan bisa jadi hukum lain yang dianggap hidup dalam masyarakat, seperti pemberlakuan
Syariat Islam di Nangroe Aceh Darussalam.
Melalui pemaparan di atas, setidaknya terdapat dua masalah penting yang perlu dibahas,
yaitu: masalah asas legalitas dan ‘hukum yang hidup dalam masyarakat’. Dari pokok
masalah tersebut, ada beberapa permasalahan yang muncul, antara lain:
Apakah pengaturan asas legalitas dalam Rancangan KUHP tidak bertentangan secara
konseptual dengan asas legalitas itu sendiri;
Apabila asas legalitas dalam Rancangan KUHP itu diterima, apa akibat yang dapat
timbul dalam tatanan hukum pidana;
Apakah akibat yang dapat timbul dengan diakomodasinya ‘The Living Law’ ke dalam
asas legalitas; dan
Bagaimana seharusnya ‘The Living Law’ ditempatkan dalam tatanan hukum, perlukah
ia diformalkan dalam undang-undang.
POSITION PAPER ADVOKASI RUU KUHP SERI #1
“Asas Legalitas Dalam Rancangan KUHP”
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) 5
BAB II
ARTI PENTING ASAS LEGALITAS
2.1.Asas Legalitas dan Aspek-aspeknya
Dalam hukum Romawi kuno yang menggunakan bahasa Latin, tidak dikenal apa yang
disebut asas legalitas.2 Pada saat itu dikenal kejahatan yang disebut criminal extra
ordinaria, yang berarti ‘kejahatan-kejahatan yang tidak disebut dalam undang-undang’. Di
antara criminal extra ordinaria ini yang terkenal adalah crimina stellionatus (perbuatan
durjana/jahat).3
Dalam sejarahnya, criminal extra ordinaria ini diadopsi raja-raja yang berkuasa. Sehingga
terbuka peluang yang sangat lebar untuk menerapkannya secara sewenang-wenang. Oleh
karena itu, timbul pemikiran tentang harus ditentukan dalam peraturan perundangundangan
terlebih dahulu perbuatan-perbuatan apa saja yang dapat dipidana.4 Dari sini
timbul batasan-batasan kepada negara untuk menerapkan hukum pidana.
Menurut Jan Remmelink, agar dipenuhinya hak negara untuk menegakkan ketentuan
pidana (jus puniendi), diperlukan lebih dari sekadar kenyataan bahwa tindakan yang
dilakukan telah memenuhi perumusan delik. Tetapi diperlukan lagi norma lain yang harus
dipenuhi, yaitu norma mengenai berlakunya hukum pidana. Di antaranya, berlakunya
hukum pidana menurut waktu (tempus) -- di samping menurut tempat (locus). Norma ini
sangat penting untuk menetapkan tanggung jawab pidana.5
Bila suatu tindakan telah memenuhi unsur delik yang dilarang, tetapi ternyata dilakukan
sebelum berlakunya ketentuan tersebut, tindakan itu bukan saja tidak dapat dituntut ke
muka persidangan, tetapi juga pihak yang terkait tidak dapat dimintai
pertanggungjawabannya. Harus ada ketentuannya terlebih dahulu yang menentukan bahwa
tindakan tersebut dapat dipidana. Norma seperti inilah yang disebut sebagai asas legalitas
atau legaliteitbeginsel atau Principle of Legality.
2 Lihat: Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Cetakan Ketujuh, 2000, hlm. 23.
3 Ibid, hlm. 23-24.
4 Ibid, hlm. 24.
5 Dalam perumusan surat dakwaan, seperti yang diatur dalam KUHAP, locus delicti dan tempus
delicti sangat penting untuk dicantumkan. Tanpa kedua hal ini, surat dakwaan Jaksa dapat dinyatakan batal
demi hukum dan prematur.
POSITION PAPER ADVOKASI RUU KUHP SERI #1
“Asas Legalitas Dalam Rancangan KUHP”
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) 6
Ajaran asas legalitas ini sering dirujuk sebagai nullum delictum, nulla poena sine praevia
lege poenali, artinya: tiada delik, tiada pidana, tanpa didahului oleh ketentuan pidana dalam
perundang-undangan. Walaupun menggunakan bahasa Latin, menurut Jan Remmelink,
asal-muasal adagium di atas bukanlah berasal dari hukum Romawi Kuno. Akan tetapi
dikembangkan oleh juris dari Jerman yang bernama von Feuerbach, yang berarti
dikembangkan pada abad ke-19 dan oleh karenanya harus dipandang sebagai ajaran klasik.
Dalam bukunya yang berjudul Lehrbuch des Peinlichen Rechts (1801), Feuerbach
mengemukakan teorinya mengenai tekanan jiwa (Psychologische Zwang Theorie).
Feuerbach beranggapan bahwa suatu ancaman pidana merupakan usaha preventif terjadinya
tindak pidana. Apabila orang telah mengetahui sebelumnya bahwa ia diancam pidana
karena melakukan tindak pidana, diharapkan akan menekan hasratnya untuk melakukan
perbuatan tersebut.6 Oleh karena itu harus dicantumkan dalam undang-undang.
Jauh sebelum asas ini muncul, seorang filsuf Inggris, Francis Bacon (1561-1626) telah
memperkenalkan adagium ‘moneat lex, priusquam feriat’, artinya: undang-undang harus
memberikan peringatan terlebih dahulu sebelum merealisasikan ancaman yang terkandung
di dalamnya.7 Dengan demikian, asas legalitas menghendaki bahwa ketentuan yang
memuat perbuatan dilarang harus dituliskan terlebih dahulu.
Dalam tradisi sistem civil law, ada empat aspek asas legalitas yang diterapkan secara ketat,
yaitu: Peraturan perundang-undangan (law), retroaktivitas (retroactivity), lex certa, dan
analogi.8 Mengenai keempat aspek ini, menurut Roelof H Haveman, though it might be
said that not every aspect is that strong on its own, the combination of the four aspects
gives a more true meaning to principle of legality.9
Lex Scripta
Dalam tradisi civil law, aspek pertama adalah penghukuman harus didasarkan pada
undang-undang, dengan kata lain berdasarkan hukum yang tertulis. Undang-undang
(statutory, law) harus mengatur mengenai tingkah laku (perbuatan) yang dianggap
sebagai tindak pidana. Tanpa undang-undang yang mengatur mengenai perbuatan yang
dilarang, maka perbuatan tersebut tidak bisa dikatakan sebagai tindak pidana. Hal ini
berimplikasi bahwa kebiasaan tidak bisa dijadikan dasar menghukum seseorang.
6 Lihat: M. Karfawi, “Asas Legalitas dalam Usul Rancangan KUHP (Baru) dan Masalahmasalahnya”,
Jurnal Arena Hukum, Juli 1987, hlm 9-15. Lihat juga: Moeljatno, op.cit. hlm. 25.
7 Lihat: Ibid, hlm 355.
8 Lihat: Roelof H. Heveman, The Legality of Adat Criminal Law in Modern Indonesia, Tata Nusa,
Jakarta, 2002, hlm 50.
9 Ibid.
POSITION PAPER ADVOKASI RUU KUHP SERI #1
“Asas Legalitas Dalam Rancangan KUHP”
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) 7
Tidak bisanya kebiasaan menjadi dasar penghukuman bukan berarti kebiasaan tersebut
tidak mempunyai peran dalam hukum pidana. Ia menjadi penting dalam menafsirkan
element of crimes yang terkandung dalam tindak pidana yang dirumuskan oleh undangundang
tersebut.
Lex Certa
Dalam kaitannya dengan hukum yang tertulis, pembuat undang-undang (legislatif)
harus merumuskan secara jelas dan rinci mengenai perbuatan yang disebut dengan
tindak pidana (kejahatan, crimes)10. Hal inilah yang disebut dengan asas lex certa atau
bestimmtheitsgebot. Pembuat undang-undang harus mendefinisikan dengan jelas tanpa
samar-samar (nullum crimen sine lege stricta), sehingga tidak ada perumusan yang
ambigu mengenai perbuatan yang dilarang dan diberikan sanksi. Perumusan yang tidak
jelas atau terlalu rumit hanya akan memunculkan ketidakpastian hukum dan
menghalangi keberhasilan upaya penuntutan (pidana) karena warga selalu akan dapat
membela diri bahwa ketentuan-ketentuan seperti itu tidak berguna sebagai pedoman
perilaku.11
Namun demikian, dalam prakteknya tidak selamanya pembuat undang-undang dapat
memenuhi persyaratan di atas. Tidak jarang perumusan undang-undang diterjemahkan
lebih lanjut oleh kebiasaan yang berlaku di dalam masyarakat apabila norma tersebut
secara faktual dipermasalahkan.12
Non-retroaktif
Asas legalitas menghendaki bahwa ketentuan peraturan perundang-undangan yang
merumuskan tindak pidana tidak dapat diberlakukan secara surut (retroaktif).
Pemberlakuan secara surut merupakan suatu kesewenang-wenangan, yang berarti
pelanggaran hak asasi manusia. Seseorang tidak dapat dituntut atas dasar undangundang
yang berlaku surut. Namun demikian, dalam prakteknya penerapan asas
legalitas ini terdapat penyimpangan-penyimpangan.
Sebagai contoh, kasus Bom Bali,
kasus Pelanggaran Hak Asasi Manusia Timor-Timur, dan kasus Tanjung Priok. Dalam
kasus-kasus tersebut, asas legalitas disimpangi dengan memberlakukan asas retroaktif.
10 Dalam Rancangan KUHP tidak lagi dikenal dengan sebutan pelanggaran dan kejahatan, kedua
istilah ini disebut dalam satu istilah tindak pidana.
11 Jan Remmelink, Hukum Pidana: Komentar Atas Pasal-pasal Terpenting dari Kitab Undangundang
Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia,
Penerbit PT Gramedia Jakarta, 2003, hlm. 358
12 Lihat: Ibid. Jan Remmelink mencontohkan mengenai culpa yang diterjemahkan lebih lanjut
berdasarkan kebiasaan. Begitu pula garantenstellung yang dibicarakan dalam konteks ‘tidak
berbuat/melalaikan’ (nalaten). Juga mengenai penyertaan dan percobaan yang mengalami perluasan ruang
lingkup. Perlu juga dicatat mengenai kebebasan Hakim menggunakan interpretasi teleologis dan fungsional.
POSITION PAPER ADVOKASI RUU KUHP SERI #1
“Asas Legalitas Dalam Rancangan KUHP”
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) 8
Jika ditinjau lebih jauh, penerapan asas retroaktif ini dikarenakan karakteristik
kejahatan-kejahatan dalam kasus tersebut yang sangat berbeda dengan jenis kejahatan
biasa.
Sejalan dengan itu, menurut Prof. Dr. Romli Atmasasmita, prinsip hukum nonretroaktif
tersebut berlaku untuk pelanggaran pidana biasa, sedangkan pelanggaran hak
asasi manusia bukan pelanggaran biasa, oleh karenannya prinsip non-retroaktif tidak
bisa dipergunakan.13
Analogi
Seperti disebutkan di muka, asas legalitas membatasi secara rinci dan cermat tindakan
apa saja yang dapat dipidana. Namun demikian, dalam penerapannya, ilmu hukum
memberi peluang untuk dilakukan interpretasi terhadap rumusan-rumusan perbuatan
yang dilarang tersebut.14 Dalam ilmu hukum pidana dikenal beberapa metode atau
cara penafsiran, yaitu: penafsiran tata bahasa atau gramatikal, penafsiran logis,
penafsiran sistematis, penafsiran historis, penafsiran teleologis atau sosiologis,
penafsiran kebalikan, penafsiran membatasi, penafsiran memperluas, dan penafsiran
analogi.15
Dari sekian banyak metode penafsiran tersebut, penafsiran analogi16 telah
menimbulkan perdebatan di antara para yuris yang terbagi ke dalam dua kubu,
menerima dan menentang penafsiran analogi.17 Secara ringkas, penafsiran analogi
adalah apabila terhadap suatu perbuatan yang pada saat dilakukannya tidak
13 Kompas, Jumat 18 Agustus 2000, “Demi Keadilan, Penerapan Asas Retroaktif Bisa Diterima”.
14 Di dalam ilmu hukum pidana mengenai penafsiran undang-undang hukum pidana merupakan hal
yang sangat penting, demikian pula bagi para penegak hukum, terutama hakim. Penafsiran penting juga untuk
kepastian hukum. Lihat: Sofyan Sastrawidjaja, Hukum Pidana: Asas Hukum Pidana Sampai pada Peniadaan
Pidana, Armica Bandung, 1995, hlm 67.
15 Lihat: Ibid, hlm 68-72.
16 Baik Mulyatno dalam bukunya “Asas-Asas Legalitas”, maupun Sofyan Sastrawidjaja, analogi
dipadankan dengan kata ‘kiyas’.
17 Kelompok penerima di antaranya Taverne, Pompe, dan Jonkers. Kelompok penentang di antaranya
Scholten, van Hattum, termasuk yuris sekarang Jan Remmelink. Yuris Indonesia sebagian besar menentang
penerapan analogi, di antaranya Moeljatno dan Roeslan Saleh. Sementara dalam praktek peradilan, penafsiran
analogi kerap digunakan, misalnya pengertian barang (goed) telah diperluas termasuk aliran listrik pada tahun
1921. Dalam sejarah peradilan pidana Indonesia, Hakim Bismar Siregar dalam Kasus “Perayu Gombal” pada
Pengadilan Tinggi Medan Reg.: 144/PID/1983/PT.Mdn telah menafsirkan Pasal 378 KUHP yang memperluas
pengertian benda termasuk pula “kegadisan seorang wanita”. Lihat juga: Eva Achjani Zulfa, Ketika Jaman
Meninggalkan Hukum, 01 April 2003, www.pemantauperadilan.com.
POSITION PAPER ADVOKASI RUU KUHP SERI #1
“Asas Legalitas Dalam Rancangan KUHP”
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) 9
merupakan tindak pidana, diterapkan ketentuan hukum pidana yang berlaku untuk
tindak pidana lain yang mempunyai sifat atau bentuk yang sama dengan perbuatan
tersebut, sehingga kedua perbuatan tersebut dipandang analog satu dengan lainnya.
Menurut Prof. Andi Hamzah, ada dua macam analogi, yaitu: gesetz analogi dan recht
analogi. Gesetz analogi adalah analogi terhadap perbuatan yang sama sekali tidak
terdapat dalam ketentuan pidana. Sementara recht analogi adalah analogi terhadap
perbuatan yang mempunyai kemiripan dengan perbuatan yang dilarang dalam
ketentuan hukum pidana.
Beberapa alasan yang menyetujui dipakainya analogi, di antaranya adalah karena
perkembangan masyarakat yang sedemikian cepat sehingga hukum pidana harus
berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat itu. Sementara yang menentang
mengatakan bahwa penerapan analogi dianggap berbahaya karena dapat
menyebabkan ketidakpastian hukum dalam masyarakat. Dalam perkembangannya,
pembatasan dan penggunaan analogi ini tergantung pada sistem hukum yang dianut
suatu negara.18 Menurut Jan Remmelink, inti dari penafsiran analogis, singkatnya,
bagi pendukung pendekatan ini tidak membatasi pengertian suatu aturan hanya dalam
batas-batas polyseem kata-kata. Bila diperlukan, mereka akan siap sedia
mengembangkan dan merumuskan aturan baru (hukum baru), tentu tidak dengan
sembarang melainkan dalam kerangka pemikiran, rasio ketentuan yang
bersangkutan.19 Dalam perkembangannya, karena trauma pada saat pemerintahan
Nazi20, timbul keengganan yang besar terhadap penggunaan metode ini di seluruh
Eropa dan Belanda.21
18 Beberapa negara, seperti Denmark, sudah menerima penafsiran analogi, namun negara-negara
daratan Eropa masih keberatan terhadap penerapan penafsiran ini. Lihat: Jan Remmelink, op.cit. hlm 359.
19 Ibid. Dalam hal ini, Jan Remmelink sendiri sebagai salah satu ahli pidana Belanda yang
mendukung pelarangan analogi, beberapa alasan yang dikemukakannya antara lain: (i) pelarangan analogi
mendukung kepastian hukum, karena sampai sekarang pada tingkat tertentu masih ditemukan adanya
kepastian perihal isi ketentuan-ketentuan larangan dari sudut pandang batas-batas kata menurut ilmu bahasa,
sekalipun beberapa makna kata ditafsirkan secara sangat luas. Hal itu memunculkan keraguan, namun kita
masih tetap menemukan arah perkembangan dengan batas-batas yang aman; (ii) Pengembangan hukum
(perundang-undangan) tidak terutama dibebankan pada hakim; (iii) Kemungkinan untuk tetap dapat
menjangkau ‘terdakwa’ di luar batasan bahasa membuka kesempatan bagi hakim untuk mengambil keputusan
secara emosional karena pengaruh tidak murni dari opini publik, media, dan dari golongan (instansi ataupun
non-instansi) lainnya; dan (iv) Berdasarkan sejarah perundang-undangan, terdapat penolakan, sebagai contoh
UU tahun 1886 (Belanda) tidak dimaksudkan sebagai pengakuan terhadap penggunaan metode penafsiran
analogis. Lihat: Ibid. hlm 360.
20 Pada saat pemerintahan Nazi telah terjadi penggunaan analogi secara serampangan sehingga
menimbulkan trauma yang mendalam di Eropa.
21 Ibid.
POSITION PAPER ADVOKASI RUU KUHP SERI #1
“Asas Legalitas Dalam Rancangan KUHP”
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) 10
2.2.Asas Legalitas dan Hak Asasi Manusia
Pemberian hukuman, atau sanksi yang berlebihan, tidak manusiawi, tanpa dasar yang jelas
adalah pelanggaran hak asasi manusia. Sejarah peradaban umat manusia telah mencatat
bagaimana kesewenang-wenangan penguasa yang diktator menerapkan hukum pidana.
Sehingga timbul pemikiran untuk membatasi kewenangan penguasa termasuk dalam
menjatuhkan pidana.
Dalam kaitannya dengan hak negara untuk menghukum seseorang (ius punendi), asas
legalitas merupakan safeguard dari kesewenang-wenanagan penguasa. Asas legalitas
dianggap sebagai sendi dari primaritas hukum pidana. Berdasarkan ‘teori perjanjian’22 yang
dikembangkan beberapa ahli, kewenangan negara untuk menjatuhkan pidana dilandasi oleh
perjanjian antara individu dan negara.23 Asas legalitas ini dianggap sebagai salah satu
wujud dari perjanjian antara penguasa dan individu itu. Dalam artian, kebebasan individu
sebagai subyek hukum mendapatkan jaminan perlindungan kontraktual melalui asas
legalitas.24 Melalui asas legalitas inilah terjadi suatu pembenaran kepada negara untuk
menjatuhkan pidana sehingga ada kepastian hukum.
Menurut Prof. Satochid Kertanegara, asas legalitas muncul pada akhir abad sebelum
revolusi Perancis.25 Pasa saat itu belum dikenal hukum pidana yang tertulis. Sehingga
pemeriksaan perkara diserahkan pada kesadaran hakim. Akibatnya, hakim dapat bertindak
sewenang-wenang dan dapat menjatuhkan hukuman terhadap suatu perkara berdasarkan
kesalahan hukum pribadinya, maka dengan sendirinya tidak ada kepastian hukum.
Masyarakat tidak memperoleh perlindungan dari perilaku sewenang-wenang dan
kediktatoran.
22 Teori Perjanjian dalam hukum pidana di antaranya dikembangkan oleh Hugo Grotius, yang
mengandaikan sebagaimana seseorang menutup kontrak jual beli, demikian pula seseorang yang melakukan
delik akan menerima apa yang secara alamiah terkait pada delik dimaksud, yaitu hukuman. Ajaran ini juga
ditemukan pada Teori JJ Rousseau, terutama dalam argumentasinya ‘untuk tidak menjadi korban suatu
pembunuhan, ia sepakat untuk menerima kematian, jka hal itu memang dituntut darinya. Lihat: Jan
Remmelink, op.cit, hlm 598.
23 Teori-teori perjanjian ini semuanya dilandaskan pada prinsip yang tidak dapat dibuktikan,
sehingga dengan mudah dapat dipatahkan. Dalam artian, teori ini dilandaskan pada aksioma, sebab itu pula
ajaran ini sering disebut sebagai ajaran hukum aksiomatis. Walaupun demikian, menurut Jan Remmelink,
ajaran ini masih berguna untuk menerangkan landasan kewenangan penguasa untuk menegakkan wibawa
hukum, Lihat: Jan Remmelink, Ibid, hlm 599.
24 Lihat: Ibid.
25 Mengutip ulang dari H. Abdurrahman, Beberapa Catatan Tentang Asas Legalitas. Makalah yang
disampaikan pada Focus Group Discussion tentang Pengaturan Asas Legalitas dalam RKUHP yang diadakan
ELSAM di Hotel Ibis Tamarin, 22 Agustus 2005. Bersumber dari: Prof. Satochid Kertanegara, Hukum
Pidana: Kumpulan Kuliah, Balai Lektur, Jakarta.
POSITION PAPER ADVOKASI RUU KUHP SERI #1
“Asas Legalitas Dalam Rancangan KUHP”
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) 11
Dalam kaitannya dengan negara hukum, asas legalitas merupakan salah satu asas yang
fundamental.26 Asas legalitas merupakan suatu penghubung antara rule of law dari hukum
pidana yang penyampingannya hanya dapat dibenarkan dalam keadaan memaksa. Melalui
asas legalitas diharapkan terdapat perlindungan terhadap hak asasi manusia, yang
melindungi dari kesewenang-wenangan penuntutan dan penghukuman.
2.3.Pengaturan Asas Legalitas dalam Hukum Pidana Indonesia
Dalam hukum pidana Indonesia, asas legalitas ini diatur dengan jelas dalam KUHP yang
berlaku sekarang (Wetboek van Straftrecht) maupun dalam Rancangan KUHP (selanjutnya
disingkat RKUHP). Pasal 1 ayat (1) KUHP yang menyatakan bahwa tiada suatu perbuatan
dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang
telah ada, sebelum perbuatan dilakukan. Bunyi Pasal 1 ayat (1) KUHP ini, secara rinci,
berisi dua hal penting, yaitu: (i) suatu tindak pidana harus dirumuskan terlebih dahulu
dalam peraturan perundang-undangan; (ii) peraturan perundang-undangan harus ada
sebelum terjadinya tindak pidana (tidak berlaku surut).27
Asas legalitas menghendaki bahwa suatu perbuatan dapat dinyatakan sebagai tindak pidana
apabila terlebih dahulu ada undang-undang yang menyatakan bahwa perbuatan itu sebagai
tindak pidana. Oleh karenanya, asas legalitas melarang penerapan hukum pidana secara
surut (retroaktif). Pasal 1 ayat (1) KUHP inilah yang menjadi landasan penegakan hukum
pidana di Indonesia, terutama dalam kaitannya dengan kepastian hukum.28
Asas legalitas ini diatur pula dalam Pasal 6 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman yang menyebutkan bahwa tidak seorang pun dapat dihadapkan di
depan pengadilan selain daripada yang ditentukan oleh undang-undang. Bunyi pasal ini
memperkuatkan kembali kehendak asas legalitas terhadap hukum pidana yang dibuat secara
tertulis. Begitu juga dalam UUD 1945 Amandemen II Pasal 28 I ayat (1) yang
menyebutkan bahwa “Hak untuk hidup, … dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum
yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan
apapun.” Begitu pula dalam Amandemen IV disebutkan bahwa “Untuk menegakkan dan
melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka
26 Lihat: ELSAM, Background Paper: Tinjauan Umum terhadap Rancangan KUHP Nasional, 2005.
27 Beberapa yuris menerangkan juga bahwa sebenarnya dalam Pasal 1 KUHP tersebut terdapat
larangan analogi. Dengan demikian, dalam Pasal 1 KUHP terkandung tiga hal penting dengan memasukkan
larangan menggunakan analogi dalam menentukan adanya tindak pidana.
28 Tetapi sayangnya, penegakan hukum pidana di Indonesia acap kali dihadapkan pada jenis
kejahatan yang terus berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat. Terdapat tindakan-tindakan baru
yang ternyata merugikan, sementara hukum pidana tertinggal jauh dengan perkembangan masyarakat.
Kenyataan ini menimbulkan suatu dilema terhadap eksistensi asas legalitas, apakah kepastian hukum akan
dikalahkan oleh upaya pemenuhan keadilan dalam masyarakat atau sebaliknya. Lihat: Eva Achjani Zulfa,
Ketika Jaman Meninggalkan Hukum, 01 April 2003, www. pemantauperadilan.com.

Pengaturan Asas Legalitas dalam RKUHP
Seperti disebutkan dalam bagian pertama, asas legalitas dalam RKUHP telah diatur secara
berbeda dengan KUHP (Wetboek van Strafrecht). Perbedaan itu antara lain bahwa dalam
RKUHP analogi telah secara eksplisit dilarang digunakan (Pasal 1 ayat (2)) dan memberi
peluang berlakunya ‘hukum yang hidup dalam masyarakat’ (Pasal 1 ayat (3)). Walaupun
demikian, makna yang dikandung dalam Pasal 1 ayat (1) dalam RKUHP tidak berbeda
seperti yang diatur dalam KUHP, yaitu: asas legalitas. Dalam Pasal 1 RKUHP disebutkan
bahwa:
(1) Tiada seorang pun dapat dipidana atau dikenakan tindakan, kecuali
perbuatan yang dilakukan telah ditetapkan sebagai tindak pidana dalam
peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat perbuatan itu
dilakukan.
(2) Dalam menetapkan adanya tindak pidana dilarang menggunakan analogi.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mengurangi
berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan
bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur
dalam peraturan perundang-undangan.
(4) Berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) sepanjang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan/atau
prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat bangsabangsa.
Penjelasannya:
Ayat (1)
Ayat ini mengandung asas legalitas. Asas ini menentukan bahwa suatu perbuatan hanya
merupakan tindak pidana apabila ditentukan demikian oleh atau didasarkan pada undangundang.
Dipergunakannya asas tersebut, oleh karena asas legalitas merupakan asas pokok
dalam hukum pidana. Oleh karena itu, peraturan perundang-undangan pidana atau yang
mengandung ancaman pidana harus sudah ada sebelum tindak pidana dilakukan. Hal ini
berarti bahwa ketentuan pidana tidak berlaku surut demi mencegah kesewenangwenangan
penegak hukum dalam menuntut dan mengadili seseorang yang dituduh
melakukan suatu tindak pidana.
POSITION PAPER ADVOKASI RUU KUHP SERI #1
“Asas Legalitas Dalam Rancangan KUHP”
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) 18
Ayat (2)
Larangan penggunaan penafsiran analogi dalam menetapkan adanya tindak pidana
merupakan konsekuensi dari penggunaan asas legalitas. Penafsiran analogi berarti bahwa
terhadap suatu perbuatan yang pada waktu dilakukan tidak merupakan suatu tindak
pidana, tetapi terhadapnya diterapkan ketentuan pidana yang berlaku untuk tindak pidana
lain yang mempunyai sifat atau bentuk yang sama, karena kedua perbuatan tersebut
dipandang analog satu dengan yang lain. Dengan ditegaskannya larangan penggunaan
analogi, maka perbedaan pendapat yang timbul dalam praktek selama ini dapat
dihilangkan.
Ayat (3)
Adalah suatu kenyataan bahwa dalam beberapa daerah tertentu di Indonesia masih
terdapat ketentuan hukum yang tidak tertulis yang hidup dalam masyarakat dan berlaku
sebagai hukum di daerah tersebut. Hal yang demikian terdapat juga dalam lapangan
hukum pidana, yaitu yang biasanya disebut dengan tindak pidana adat. Untuk
memberikan dasar hukum yang mantap mengenai berlakunya hukum pidana adat, maka
hal tersebut mendapat pengaturan secara tegas dalam Kitab Undang-undang Hukum
Pidana ini.
Ketentuan dalam ayat ini merupakan pengecualian dari asas bahwa ketentuan pidana
diatur dalam peraturan perundang-undangan. Diakuinya tindak pidana adat tersebut untuk
lebih memenuhi rasa keadilan yang hidup di dalam masyarakat tertentu.
Ayat (4)
Ayat ini mengandung pedoman atau kriteria atau rambu-rambu dalam menetapkan
sumber hukum materiil (hukum yang hidup dalam masyarakat) yang dapat dijadikan
sebagai sumber hukum (sumber legalitas materiil). Pedoman dalam ayat ini berorientasi
pada nilai nasional dan internasional.
Bunyi Pasal 1 RKUHP di atas secara keseluruhan dapat dibaca: ‘hukum pidana Indonesia
berdasarkan asas legalitas yang diperkuat dengan larangan menggunakan penafsiran
analogi’. Tetapi, asas legalitas dapat dikecualikan dengan memberlakukan ‘hukum yang
hidup dalam masyarakat’ yang menganggap suatu perbuatan adalah perbuatan dilarang.
‘Hukum yang hidup dalam masyarakat’ ini diberlakukan secara limitatif dengan
pembatasan-pembatasan tertentu, yaitu sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan/atau prinsipprinsip
hukum umum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa.
POSITION PAPER ADVOKASI RUU KUHP SERI #1
“Asas Legalitas Dalam Rancangan KUHP”
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) 19
Dalam Pasal 1 RKUHP diatur hal-hal yang baru dibandingkan KUHP, di antaranya adalah:
(i) adanya penjatuhan “tindakan” kepada pelanggar hukum pidana;51 (ii) penggunaan frase
“peraturan perundang-undangan” yang berarti bukan hanya undang-undang;52 (iii) larangan
penggunaan analogi;53 dan (iv) berlakunya “hukum yang hidup dalam masyarakat”.
Berdasarkan bunyi Pasal 1 ayat (1) RKUHP, terdapat dua hal penting mengenai berlakunya
hukum pidana, yaitu: (i) bahwa suatu perbuatan harus dirumuskan dulu dalam peraturan
perundang-undangan; (ii) peraturan perundang-undangan tersebut harus lebih dulu ada pada
saat terjadinya perbuatan dimaksud. Dari hal yang pertama, konsekuensinya adalah bahwa
perbuatan seseorang yang tidak tercantum dalam peraturan perundang-undangan sebagai
suatu tindak pidana tidak dapat dimintai pertanggungjawaban. Melalui asas ini hukum tidak
tertulis tidak dapat diterapkan. Dengan kata lain, hanya perundang-undangan dalam formal
yang dapat memberikan pengaturan di bidang pemidanaan.
Kata peraturan perundang-undangan yang dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) RKUHP tidak
lain menunjuk pada semua produk legislatif yang mencakup pemahaman bahwa tindak
pidana akan dirumuskan secara legitimit.54 Berdasarkan UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, tata urutan perundang-undangan di
antaranya: (i) Undang-Undang Dasar 1945; (ii) Undang-undang atau Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-undang; (iii) Peraturan Pemerintah; (iv) Peraturan Presiden; dan (v)
Peraturan daerah. Dengan demikian, peraturan perundangan-undangan yang dimaksud
dalam Pasal 1 ayat (1) RKUHP termasuk juga peraturan perundang-undangan yang dibuat
oleh pemerintah provinsi maupun kabupaten/kota.
Pentingnya tindak pidana yang dirumuskan melalui undang-undang tidak lain sebagai
wujud dari kewajiban pembentuk undang-undang untuk merumuskan ketentuan pidana
secara terinci atau secermat mungkin.55 Perumusan tindak pidana yang tidak jelas atau
terlalu rumit hanya akan memunculkan ketidakpastian hukum dan menghalangi
51 Adanya penjatuhan “tindakan” kepada pelanggar hukum pidana sebelumnya tidak ada. Ketentuan
ini sebagai konsekuensi memasukkan pengenaan “tindakan” kepada orang yang terbukti melanggar hukum
pidana, pelanggar hukum pidana yang telah dinyatakan terbukti tetapi tidak terbukti adanya kesalahan atau
masih tergolong anak (di bawah umur) ke dalam Buku I RKUHP. Tindakan bukanlah pidana dan tidak sama
dengan pidana, tetapi mengandung unsur “paksaan” hukum, misalnya keharusan untuk masuk rumah sakit.
Lihat: Mudzakkir, op.cit.
52 Ibid.
53 Munculnya pengaturan larangan analogi dimaksudkan untuk mengurangi perbedaan pendapat
dalam menafsirkan hukum yang dapat menghambat penegakan hukum pidana.
54 Lihat: Jan Remmelink, Op.cit. hlm. 358.
55 Asas ini dikenal dengan asas lex certa atau dikenal juga sebagai bestimmheitsgebot.
POSITION PAPER ADVOKASI RUU KUHP SERI #1
“Asas Legalitas Dalam Rancangan KUHP”
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) 20
keberhasilan upaya penuntutan karena warga selalu akan dapat membela diri bahwa
ketentuan-ketentuan seperti itu tidak berguna sebagai pedoman berlaku.56
Dari hal kedua yang disebutkan di atas, bahwa peraturan seperti yang dimaksud harus ada
sebelum perbuatan dilakukan. Ini artinya ketentuan hukum pidana tidak diperbolehkan
berlaku surut. Asas legalitas ini pada prinsipnya mengandaikan bahwa setiap individu
mempunyai kebebasan. Melalui asas legalitas inilah individu mempunyai jaminan terhadap
perlakuan sewenang-wenang negara terhadapnya sehingga terjadi kepastian hukum.
Melalui pengaturan Pasal 1 ayat (1) RKUHP ini dapat diketahui bahwa hanya perbuatan
yang diatur secara rinci/tegas dalam peraturan perundang-undangan saja yang dapat
dikenakan tindak pidana atau tindakan. Selain itu, tidak bisa, termasuk perbuatan-perbuatan
yang kiranya patut dipidana, jika undang-undang tidak menentukan bahwa perbuatan
tersebut adalah tindak pidana, maka kepada pelakunya tidak dapat dimintakan
pertanggungjawaban.
Arti penting asas legalitas yang diatur dalam Pasal 1 ayat (1) RKUHP diperkuat lagi
pengaturan ayat (2) yang melarang penggunaan analogi. Maksud dari bunyi Pasal 1 ayat
(2) RKUHP sebenarnya adalah menghendaki tidak adanya pengenaan sanksi terhadap
perbuatan-perbuatan yang dilakukan seseorang secara berlebihan. Dengan kata lain,
menghendaki bahwa perumusan delik diterapkan secara ketat (nullum crimen sine lege
stricta: ‘tiada ketentuan pidana terkecuali dirumuskan secara sempit/ketat di dalam
peraturan perundang-undangan’. Menurut Mudzakkir, alasan dicantumkannya pengaturan
larangan analogi adalah agar semua asas umum hukum pidana dimuat dalam ketentuan
umum hukum pidana Buku I RUU KUHP dan selanjutnya mengurangi perbedaan pendapat
dalam menafsirkan hukum yang dapat menghambat penegakkan hukum pidana. Oleh sebab
itu, larangan analogi dimasukkan dalam Pasal 1 ayat (2) sebagai bentuk penguatan doktrin
hukum pidana yang diterima oleh para ahli hukum tersebut.
Dalam pengaturan Pasal 1 RKUHP tidak ada larangan penafsiran ekstensif. Kembali
menurut Mudzakkir, hal ini karena ada perbedaan utama antara penafsiran analogi dengan
ekstensif, yaitu: produk penafsiran analogi menambah "hukum pidana baru" yang memuat
perbuatan yang dilarang (perbuatan pidana) yang semula tidak dilarang atau dibolehkan,
sedangkan produk penafsiran ekstensif adalah memperluas makna atau pengertian yang
tercakup dari suatu undang-undang. Oleh karenanya penafsiran ekstensif tidak dilarang.
Dari bunyi Pasal 1 ayat (2) tersebut, RKUHP melarang semua bentuk analogi. Baik itu
gesetz analogi maupun recht analogi. Dengan demikian, sebenarnya pasal ini melarang
penerapan Pasal 1 ayat (3) yang memberlakukan hukum yang hidup dalam masyarakat.
3.2.Munculnya Hukum Hidup yang dalam Masyarakat dalam RKUHP
Seperti diketahui bahwa usaha pembaharuan hukum pidana Indonesia sudah dimulai sejak
tahun 60-an. Saat itu disadari bahwa KUHP yang berlaku sekarang merupakan warisan
kolonial Belanda. Semangat untuk menggantikan KUHP dengan hukum pidana yang lebih
sesuai dengan nilai-nilai ke-Indonesia-an begitu menggebu. Seperti yang terungkap dalam
laporan Simposium Hukum Pidana Nasional tahun 1980 yang diadakan di Semarang
bahwa:
Masalah kriminalisasi dan dekriminalisasi atas suatu perbuatan haruslah sesuai dengan
politik kriminal yang dianut oleh bangsa Indonesia, yaitu sejauh mana perbuatan
tersebut bertentangan dengan nilai-nilai fundamental yang berlaku dalam masyarakat
dan oleh masyarakat dianggap patut atau tidak patut dihukum dalam rangka
menyelenggarakan kesejahteraan masyarakat.57
Jauh sebelum simposium itu, dalam Seminar Hukum Nasional I tahun 1963, keinginan
memberlakukan hukum yang hidup dalam masyarakat itu sudah muncul. Dalam Resolusi
butir (iv) disebutkan bahwa:
Yang dipandang sebagai perbuatan-perbuatan jahat tadi adalah perbuatan-perbuatan
yang dirumuskan unsur-unsurnya dalam KUHP ini maupun dalam perundangundangan
lain. Hal ini tidak menutup pintu bagi larangan perbuatan-perbuatan menurut
hukum adat yang hidup dan tidak menghambat pembentukan masyarakat yang dicitacitakan
tadi, dengan sanksi adat yang masih dapat sesuai dengan martabat bangsa.58
Sementara dalam Resolusi butir (vii) disebutkan bahwa unsur-unsur hukum agama dan
hukum adat dijalinkan dalam KUHP. Begitu pula dalam Seminar Hukum Nasional IV
tahun 1979, dalam laporan mengenai Sistem Hukum Nasional disebutkan antara lain
bahwa: (i) sistem hukum nasional harus sesuai dengan kebutuhan dan kesadaran hukum
rakyat Indonesia; (ii) … hukum nasional sejauh mungkin diusahakan dalam bentuk tertulis.
Di samping itu, hukum yang tidak tertulis tetap merupakan bagian dari hukum nasional.59
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa munculnya pengaturan asas legalitas dalam
RKUHP yang dikecualikan dengan memberlakukan “hukum yang hidup dalam
masyarakat” dilatarbelakangi oleh semangat me-Indonesia-kan hukum pidana. Pada saat itu
semangat itu begitu menggebu namun tidak diikuti usaha-usaha yang lebih konkret oleh
yuris-yuris Indonesia. Pengaturan asas legalitas -- dan penerapan sanksi adat -- dalam
RKUHP sekarang ini adalah sisa-sisa semangat itu.

Selanjutnya, dalam konteks Indonesia sekarang, apakah semangat itu masih relevan. Dalam
artian apakah politik kriminal itu masih bisa dipakai untuk Indonesia sekarang dan masa
depan. Saat ini, disadari bahwa Indonesia dalam transisi menuju demokrasi. Oleh karena
itu, mestinya RKUHP dikontekskan pada masa sekarang, sehingga perbuatan-perbuatan
yang dilarang dan tidak dilarang mesti di sesuai dengan konteks ini. Pengaturan asas
legalitas yang dikecualikan, atau tepatnya disimpangi dalam RKUHP juga dapat
menimbulkan permasalahan-permasalahan dalam penegakan hukum pidana.

legalitas hukum dalam rancangan KUHP 2005

BAB I
PROBLEMATIKA ASAS LEGALITAS
DALAM RANCANGAN KUHP
Dalam Rancangan KUHP, asas legalitas telah diatur secara berbeda dibandingkan Wetboek van Straftrecht (WvS). Asas legalitas pada dasarnya menghendaki: (i) perbuatan yang dilarang harus dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan, (ii) peraturan tersebut harus ada sebelum perbuatan yang dilarang itu dilakukan. Tetapi, adagium nullum delictum, nulla poena sine praevia lege poenali telah mengalami pergeseran, seperti dapat dilihat dalam Pasal 1 Rancangan KUHP berikut ini:
(1) Tiada seorang pun dapat dipidana atau dikenakan tindakan, kecuali
perbuatan yang dilakukan telah ditetapkan sebagai tindak pidana
dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat
perbuatan itu dilakukan.
(2) Dalam menetapkan adanya tindak pidana dilarang menggunakan analogi.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak mengurangi
berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan
bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak
diatur dalam peraturan perundang undangan.
(4) Berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) sepanjang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila
dan/atau prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat
bangsa-bangsa.
Sebagian ahli hukum pidana menganggap bahwa pengaturan tersebut merupakan perluasan
dari asas legalitas. Tetapi, sebagian lagi menganggap pengaturan tersebut sebagai
kemunduran, terutama bunyi Pasal 1 ayat (3). Akibatnya, timbul perdebatan di antara para yuris Indonesia, bahkan yuris Belanda. Perdebatan ini seolah mengulang perdebatan lama ketika Kerajaan Belanda akan memberlakukan KUHP di Hindia Belanda, yaitu apakah
akan diberlakukan bagi seluruh lapisan masyarakat di Hindia Belanda atau tidak.1 Namun,
Van Vollenhoven menentang keras jika KUHP diberlakukan juga kepada pribumi.
Pengaturan Pasal 1 ayat (3) Rancangan KUHP kontradiktif dengan Pasal 1 ayat (2) yang
melarang penggunaan analogi. Padahal Pasal 1 ayat (3), menurut Prof. Andi Hamzah,
merupakan analogi yang bersifat gesetz analogi, yaitu analogi terhadap perbuatan yang
sama sekali tidak terdapat dalam hukum pidana. Selanjutnya, menurut Prof. Andi Hamzah,
1 Pada saat itu masyarakat Hindia Belanda dibagi ke dalam tiga kelompok, yaitu: Eropa, Timur
Asing, dan Pribumi.
POSITION PAPER ADVOKASI RUU KUHP SERI #1
“Asas Legalitas Dalam Rancangan KUHP”
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) 4
pelarangan analogi dalam Pasal 1 ayat (2) lebih pada recht analogi, yaitu analogi terhadap
perbuatan yang mempunyai kemiripan dengan perbuatan yang dilarang oleh hukum pidana.
Melalui pengaturan Pasal 1 ayat (3) Rancangan KUHP, bisa saja seseorang dapat dituntut
dan dipidana atas dasar hukum yang hidup dalam masyarakat, walaupun perbuatan tersebut
tidak dinyatakan dilarang dalam perundang-undangan. Padahal, seharusnya asas legalitas
merupakan suatu safeguard bagi perlindungan, penghormatan dan penegakan hak asasi
manusia, yang menghendaki adanya batasan terhadap penghukuman terhadap seseorang.
Selain itu, hukum yang hidup dalam masyarakat (The Living Law) sangat luas
pengertiannya. Tercakup di situ antara lain hukum adat, hukum kebiasaan, hukum lokal,
bahkan bisa jadi hukum lain yang dianggap hidup dalam masyarakat, seperti pemberlakuan
Syariat Islam di Nangroe Aceh Darussalam.
Melalui pemaparan di atas, setidaknya terdapat dua masalah penting yang perlu dibahas,
yaitu: masalah asas legalitas dan ‘hukum yang hidup dalam masyarakat’. Dari pokok
masalah tersebut, ada beberapa permasalahan yang muncul, antara lain:
Apakah pengaturan asas legalitas dalam Rancangan KUHP tidak bertentangan secara
konseptual dengan asas legalitas itu sendiri;
Apabila asas legalitas dalam Rancangan KUHP itu diterima, apa akibat yang dapat
timbul dalam tatanan hukum pidana;
Apakah akibat yang dapat timbul dengan diakomodasinya ‘The Living Law’ ke dalam
asas legalitas; dan
Bagaimana seharusnya ‘The Living Law’ ditempatkan dalam tatanan hukum, perlukah
ia diformalkan dalam undang-undang.
POSITION PAPER ADVOKASI RUU KUHP SERI #1
“Asas Legalitas Dalam Rancangan KUHP”
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) 5
BAB II
ARTI PENTING ASAS LEGALITAS
2.1.Asas Legalitas dan Aspek-aspeknya
Dalam hukum Romawi kuno yang menggunakan bahasa Latin, tidak dikenal apa yang
disebut asas legalitas.2 Pada saat itu dikenal kejahatan yang disebut criminal extra
ordinaria, yang berarti ‘kejahatan-kejahatan yang tidak disebut dalam undang-undang’. Di
antara criminal extra ordinaria ini yang terkenal adalah crimina stellionatus (perbuatan
durjana/jahat).3
Dalam sejarahnya, criminal extra ordinaria ini diadopsi raja-raja yang berkuasa. Sehingga
terbuka peluang yang sangat lebar untuk menerapkannya secara sewenang-wenang. Oleh
karena itu, timbul pemikiran tentang harus ditentukan dalam peraturan perundangundangan
terlebih dahulu perbuatan-perbuatan apa saja yang dapat dipidana.4 Dari sini
timbul batasan-batasan kepada negara untuk menerapkan hukum pidana.
Menurut Jan Remmelink, agar dipenuhinya hak negara untuk menegakkan ketentuan
pidana (jus puniendi), diperlukan lebih dari sekadar kenyataan bahwa tindakan yang
dilakukan telah memenuhi perumusan delik. Tetapi diperlukan lagi norma lain yang harus
dipenuhi, yaitu norma mengenai berlakunya hukum pidana. Di antaranya, berlakunya
hukum pidana menurut waktu (tempus) -- di samping menurut tempat (locus). Norma ini
sangat penting untuk menetapkan tanggung jawab pidana.5
Bila suatu tindakan telah memenuhi unsur delik yang dilarang, tetapi ternyata dilakukan
sebelum berlakunya ketentuan tersebut, tindakan itu bukan saja tidak dapat dituntut ke
muka persidangan, tetapi juga pihak yang terkait tidak dapat dimintai
pertanggungjawabannya. Harus ada ketentuannya terlebih dahulu yang menentukan bahwa
tindakan tersebut dapat dipidana. Norma seperti inilah yang disebut sebagai asas legalitas
atau legaliteitbeginsel atau Principle of Legality.
2 Lihat: Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Cetakan Ketujuh, 2000, hlm. 23.
3 Ibid, hlm. 23-24.
4 Ibid, hlm. 24.
5 Dalam perumusan surat dakwaan, seperti yang diatur dalam KUHAP, locus delicti dan tempus
delicti sangat penting untuk dicantumkan. Tanpa kedua hal ini, surat dakwaan Jaksa dapat dinyatakan batal
demi hukum dan prematur.
POSITION PAPER ADVOKASI RUU KUHP SERI #1
“Asas Legalitas Dalam Rancangan KUHP”
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) 6
Ajaran asas legalitas ini sering dirujuk sebagai nullum delictum, nulla poena sine praevia
lege poenali, artinya: tiada delik, tiada pidana, tanpa didahului oleh ketentuan pidana dalam
perundang-undangan. Walaupun menggunakan bahasa Latin, menurut Jan Remmelink,
asal-muasal adagium di atas bukanlah berasal dari hukum Romawi Kuno. Akan tetapi
dikembangkan oleh juris dari Jerman yang bernama von Feuerbach, yang berarti
dikembangkan pada abad ke-19 dan oleh karenanya harus dipandang sebagai ajaran klasik.
Dalam bukunya yang berjudul Lehrbuch des Peinlichen Rechts (1801), Feuerbach
mengemukakan teorinya mengenai tekanan jiwa (Psychologische Zwang Theorie).
Feuerbach beranggapan bahwa suatu ancaman pidana merupakan usaha preventif terjadinya
tindak pidana. Apabila orang telah mengetahui sebelumnya bahwa ia diancam pidana
karena melakukan tindak pidana, diharapkan akan menekan hasratnya untuk melakukan
perbuatan tersebut.6 Oleh karena itu harus dicantumkan dalam undang-undang.
Jauh sebelum asas ini muncul, seorang filsuf Inggris, Francis Bacon (1561-1626) telah
memperkenalkan adagium ‘moneat lex, priusquam feriat’, artinya: undang-undang harus
memberikan peringatan terlebih dahulu sebelum merealisasikan ancaman yang terkandung
di dalamnya.7 Dengan demikian, asas legalitas menghendaki bahwa ketentuan yang
memuat perbuatan dilarang harus dituliskan terlebih dahulu.
Dalam tradisi sistem civil law, ada empat aspek asas legalitas yang diterapkan secara ketat,
yaitu: Peraturan perundang-undangan (law), retroaktivitas (retroactivity), lex certa, dan
analogi.8 Mengenai keempat aspek ini, menurut Roelof H Haveman, though it might be
said that not every aspect is that strong on its own, the combination of the four aspects
gives a more true meaning to principle of legality.9
Lex Scripta
Dalam tradisi civil law, aspek pertama adalah penghukuman harus didasarkan pada
undang-undang, dengan kata lain berdasarkan hukum yang tertulis. Undang-undang
(statutory, law) harus mengatur mengenai tingkah laku (perbuatan) yang dianggap
sebagai tindak pidana. Tanpa undang-undang yang mengatur mengenai perbuatan yang
dilarang, maka perbuatan tersebut tidak bisa dikatakan sebagai tindak pidana. Hal ini
berimplikasi bahwa kebiasaan tidak bisa dijadikan dasar menghukum seseorang.
6 Lihat: M. Karfawi, “Asas Legalitas dalam Usul Rancangan KUHP (Baru) dan Masalahmasalahnya”,
Jurnal Arena Hukum, Juli 1987, hlm 9-15. Lihat juga: Moeljatno, op.cit. hlm. 25.
7 Lihat: Ibid, hlm 355.
8 Lihat: Roelof H. Heveman, The Legality of Adat Criminal Law in Modern Indonesia, Tata Nusa,
Jakarta, 2002, hlm 50.
9 Ibid.
POSITION PAPER ADVOKASI RUU KUHP SERI #1
“Asas Legalitas Dalam Rancangan KUHP”
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) 7
Tidak bisanya kebiasaan menjadi dasar penghukuman bukan berarti kebiasaan tersebut
tidak mempunyai peran dalam hukum pidana. Ia menjadi penting dalam menafsirkan
element of crimes yang terkandung dalam tindak pidana yang dirumuskan oleh undangundang
tersebut.
Lex Certa
Dalam kaitannya dengan hukum yang tertulis, pembuat undang-undang (legislatif)
harus merumuskan secara jelas dan rinci mengenai perbuatan yang disebut dengan
tindak pidana (kejahatan, crimes)10. Hal inilah yang disebut dengan asas lex certa atau
bestimmtheitsgebot. Pembuat undang-undang harus mendefinisikan dengan jelas tanpa
samar-samar (nullum crimen sine lege stricta), sehingga tidak ada perumusan yang
ambigu mengenai perbuatan yang dilarang dan diberikan sanksi. Perumusan yang tidak
jelas atau terlalu rumit hanya akan memunculkan ketidakpastian hukum dan
menghalangi keberhasilan upaya penuntutan (pidana) karena warga selalu akan dapat
membela diri bahwa ketentuan-ketentuan seperti itu tidak berguna sebagai pedoman
perilaku.11
Namun demikian, dalam prakteknya tidak selamanya pembuat undang-undang dapat
memenuhi persyaratan di atas. Tidak jarang perumusan undang-undang diterjemahkan
lebih lanjut oleh kebiasaan yang berlaku di dalam masyarakat apabila norma tersebut
secara faktual dipermasalahkan.12
Non-retroaktif
Asas legalitas menghendaki bahwa ketentuan peraturan perundang-undangan yang
merumuskan tindak pidana tidak dapat diberlakukan secara surut (retroaktif).
Pemberlakuan secara surut merupakan suatu kesewenang-wenangan, yang berarti
pelanggaran hak asasi manusia. Seseorang tidak dapat dituntut atas dasar undangundang
yang berlaku surut. Namun demikian, dalam prakteknya penerapan asas
legalitas ini terdapat penyimpangan-penyimpangan.
Sebagai contoh, kasus Bom Bali,
kasus Pelanggaran Hak Asasi Manusia Timor-Timur, dan kasus Tanjung Priok. Dalam
kasus-kasus tersebut, asas legalitas disimpangi dengan memberlakukan asas retroaktif.
10 Dalam Rancangan KUHP tidak lagi dikenal dengan sebutan pelanggaran dan kejahatan, kedua
istilah ini disebut dalam satu istilah tindak pidana.
11 Jan Remmelink, Hukum Pidana: Komentar Atas Pasal-pasal Terpenting dari Kitab Undangundang
Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia,
Penerbit PT Gramedia Jakarta, 2003, hlm. 358
12 Lihat: Ibid. Jan Remmelink mencontohkan mengenai culpa yang diterjemahkan lebih lanjut
berdasarkan kebiasaan. Begitu pula garantenstellung yang dibicarakan dalam konteks ‘tidak
berbuat/melalaikan’ (nalaten). Juga mengenai penyertaan dan percobaan yang mengalami perluasan ruang
lingkup. Perlu juga dicatat mengenai kebebasan Hakim menggunakan interpretasi teleologis dan fungsional.
POSITION PAPER ADVOKASI RUU KUHP SERI #1
“Asas Legalitas Dalam Rancangan KUHP”
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) 8
Jika ditinjau lebih jauh, penerapan asas retroaktif ini dikarenakan karakteristik
kejahatan-kejahatan dalam kasus tersebut yang sangat berbeda dengan jenis kejahatan
biasa.
Sejalan dengan itu, menurut Prof. Dr. Romli Atmasasmita, prinsip hukum nonretroaktif
tersebut berlaku untuk pelanggaran pidana biasa, sedangkan pelanggaran hak
asasi manusia bukan pelanggaran biasa, oleh karenannya prinsip non-retroaktif tidak
bisa dipergunakan.13
Analogi
Seperti disebutkan di muka, asas legalitas membatasi secara rinci dan cermat tindakan
apa saja yang dapat dipidana. Namun demikian, dalam penerapannya, ilmu hukum
memberi peluang untuk dilakukan interpretasi terhadap rumusan-rumusan perbuatan
yang dilarang tersebut.14 Dalam ilmu hukum pidana dikenal beberapa metode atau
cara penafsiran, yaitu: penafsiran tata bahasa atau gramatikal, penafsiran logis,
penafsiran sistematis, penafsiran historis, penafsiran teleologis atau sosiologis,
penafsiran kebalikan, penafsiran membatasi, penafsiran memperluas, dan penafsiran
analogi.15
Dari sekian banyak metode penafsiran tersebut, penafsiran analogi16 telah
menimbulkan perdebatan di antara para yuris yang terbagi ke dalam dua kubu,
menerima dan menentang penafsiran analogi.17 Secara ringkas, penafsiran analogi
adalah apabila terhadap suatu perbuatan yang pada saat dilakukannya tidak
13 Kompas, Jumat 18 Agustus 2000, “Demi Keadilan, Penerapan Asas Retroaktif Bisa Diterima”.
14 Di dalam ilmu hukum pidana mengenai penafsiran undang-undang hukum pidana merupakan hal
yang sangat penting, demikian pula bagi para penegak hukum, terutama hakim. Penafsiran penting juga untuk
kepastian hukum. Lihat: Sofyan Sastrawidjaja, Hukum Pidana: Asas Hukum Pidana Sampai pada Peniadaan
Pidana, Armica Bandung, 1995, hlm 67.
15 Lihat: Ibid, hlm 68-72.
16 Baik Mulyatno dalam bukunya “Asas-Asas Legalitas”, maupun Sofyan Sastrawidjaja, analogi
dipadankan dengan kata ‘kiyas’.
17 Kelompok penerima di antaranya Taverne, Pompe, dan Jonkers. Kelompok penentang di antaranya
Scholten, van Hattum, termasuk yuris sekarang Jan Remmelink. Yuris Indonesia sebagian besar menentang
penerapan analogi, di antaranya Moeljatno dan Roeslan Saleh. Sementara dalam praktek peradilan, penafsiran
analogi kerap digunakan, misalnya pengertian barang (goed) telah diperluas termasuk aliran listrik pada tahun
1921. Dalam sejarah peradilan pidana Indonesia, Hakim Bismar Siregar dalam Kasus “Perayu Gombal” pada
Pengadilan Tinggi Medan Reg.: 144/PID/1983/PT.Mdn telah menafsirkan Pasal 378 KUHP yang memperluas
pengertian benda termasuk pula “kegadisan seorang wanita”. Lihat juga: Eva Achjani Zulfa, Ketika Jaman
Meninggalkan Hukum, 01 April 2003, www.pemantauperadilan.com.
POSITION PAPER ADVOKASI RUU KUHP SERI #1
“Asas Legalitas Dalam Rancangan KUHP”
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) 9
merupakan tindak pidana, diterapkan ketentuan hukum pidana yang berlaku untuk
tindak pidana lain yang mempunyai sifat atau bentuk yang sama dengan perbuatan
tersebut, sehingga kedua perbuatan tersebut dipandang analog satu dengan lainnya.
Menurut Prof. Andi Hamzah, ada dua macam analogi, yaitu: gesetz analogi dan recht
analogi. Gesetz analogi adalah analogi terhadap perbuatan yang sama sekali tidak
terdapat dalam ketentuan pidana. Sementara recht analogi adalah analogi terhadap
perbuatan yang mempunyai kemiripan dengan perbuatan yang dilarang dalam
ketentuan hukum pidana.
Beberapa alasan yang menyetujui dipakainya analogi, di antaranya adalah karena
perkembangan masyarakat yang sedemikian cepat sehingga hukum pidana harus
berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat itu. Sementara yang menentang
mengatakan bahwa penerapan analogi dianggap berbahaya karena dapat
menyebabkan ketidakpastian hukum dalam masyarakat. Dalam perkembangannya,
pembatasan dan penggunaan analogi ini tergantung pada sistem hukum yang dianut
suatu negara.18 Menurut Jan Remmelink, inti dari penafsiran analogis, singkatnya,
bagi pendukung pendekatan ini tidak membatasi pengertian suatu aturan hanya dalam
batas-batas polyseem kata-kata. Bila diperlukan, mereka akan siap sedia
mengembangkan dan merumuskan aturan baru (hukum baru), tentu tidak dengan
sembarang melainkan dalam kerangka pemikiran, rasio ketentuan yang
bersangkutan.19 Dalam perkembangannya, karena trauma pada saat pemerintahan
Nazi20, timbul keengganan yang besar terhadap penggunaan metode ini di seluruh
Eropa dan Belanda.21
18 Beberapa negara, seperti Denmark, sudah menerima penafsiran analogi, namun negara-negara
daratan Eropa masih keberatan terhadap penerapan penafsiran ini. Lihat: Jan Remmelink, op.cit. hlm 359.
19 Ibid. Dalam hal ini, Jan Remmelink sendiri sebagai salah satu ahli pidana Belanda yang
mendukung pelarangan analogi, beberapa alasan yang dikemukakannya antara lain: (i) pelarangan analogi
mendukung kepastian hukum, karena sampai sekarang pada tingkat tertentu masih ditemukan adanya
kepastian perihal isi ketentuan-ketentuan larangan dari sudut pandang batas-batas kata menurut ilmu bahasa,
sekalipun beberapa makna kata ditafsirkan secara sangat luas. Hal itu memunculkan keraguan, namun kita
masih tetap menemukan arah perkembangan dengan batas-batas yang aman; (ii) Pengembangan hukum
(perundang-undangan) tidak terutama dibebankan pada hakim; (iii) Kemungkinan untuk tetap dapat
menjangkau ‘terdakwa’ di luar batasan bahasa membuka kesempatan bagi hakim untuk mengambil keputusan
secara emosional karena pengaruh tidak murni dari opini publik, media, dan dari golongan (instansi ataupun
non-instansi) lainnya; dan (iv) Berdasarkan sejarah perundang-undangan, terdapat penolakan, sebagai contoh
UU tahun 1886 (Belanda) tidak dimaksudkan sebagai pengakuan terhadap penggunaan metode penafsiran
analogis. Lihat: Ibid. hlm 360.
20 Pada saat pemerintahan Nazi telah terjadi penggunaan analogi secara serampangan sehingga
menimbulkan trauma yang mendalam di Eropa.
21 Ibid.
POSITION PAPER ADVOKASI RUU KUHP SERI #1
“Asas Legalitas Dalam Rancangan KUHP”
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) 10
2.2.Asas Legalitas dan Hak Asasi Manusia
Pemberian hukuman, atau sanksi yang berlebihan, tidak manusiawi, tanpa dasar yang jelas
adalah pelanggaran hak asasi manusia. Sejarah peradaban umat manusia telah mencatat
bagaimana kesewenang-wenangan penguasa yang diktator menerapkan hukum pidana.
Sehingga timbul pemikiran untuk membatasi kewenangan penguasa termasuk dalam
menjatuhkan pidana.
Dalam kaitannya dengan hak negara untuk menghukum seseorang (ius punendi), asas
legalitas merupakan safeguard dari kesewenang-wenanagan penguasa. Asas legalitas
dianggap sebagai sendi dari primaritas hukum pidana. Berdasarkan ‘teori perjanjian’22 yang
dikembangkan beberapa ahli, kewenangan negara untuk menjatuhkan pidana dilandasi oleh
perjanjian antara individu dan negara.23 Asas legalitas ini dianggap sebagai salah satu
wujud dari perjanjian antara penguasa dan individu itu. Dalam artian, kebebasan individu
sebagai subyek hukum mendapatkan jaminan perlindungan kontraktual melalui asas
legalitas.24 Melalui asas legalitas inilah terjadi suatu pembenaran kepada negara untuk
menjatuhkan pidana sehingga ada kepastian hukum.
Menurut Prof. Satochid Kertanegara, asas legalitas muncul pada akhir abad sebelum
revolusi Perancis.25 Pasa saat itu belum dikenal hukum pidana yang tertulis. Sehingga
pemeriksaan perkara diserahkan pada kesadaran hakim. Akibatnya, hakim dapat bertindak
sewenang-wenang dan dapat menjatuhkan hukuman terhadap suatu perkara berdasarkan
kesalahan hukum pribadinya, maka dengan sendirinya tidak ada kepastian hukum.
Masyarakat tidak memperoleh perlindungan dari perilaku sewenang-wenang dan
kediktatoran.
22 Teori Perjanjian dalam hukum pidana di antaranya dikembangkan oleh Hugo Grotius, yang
mengandaikan sebagaimana seseorang menutup kontrak jual beli, demikian pula seseorang yang melakukan
delik akan menerima apa yang secara alamiah terkait pada delik dimaksud, yaitu hukuman. Ajaran ini juga
ditemukan pada Teori JJ Rousseau, terutama dalam argumentasinya ‘untuk tidak menjadi korban suatu
pembunuhan, ia sepakat untuk menerima kematian, jka hal itu memang dituntut darinya. Lihat: Jan
Remmelink, op.cit, hlm 598.
23 Teori-teori perjanjian ini semuanya dilandaskan pada prinsip yang tidak dapat dibuktikan,
sehingga dengan mudah dapat dipatahkan. Dalam artian, teori ini dilandaskan pada aksioma, sebab itu pula
ajaran ini sering disebut sebagai ajaran hukum aksiomatis. Walaupun demikian, menurut Jan Remmelink,
ajaran ini masih berguna untuk menerangkan landasan kewenangan penguasa untuk menegakkan wibawa
hukum, Lihat: Jan Remmelink, Ibid, hlm 599.
24 Lihat: Ibid.
25 Mengutip ulang dari H. Abdurrahman, Beberapa Catatan Tentang Asas Legalitas. Makalah yang
disampaikan pada Focus Group Discussion tentang Pengaturan Asas Legalitas dalam RKUHP yang diadakan
ELSAM di Hotel Ibis Tamarin, 22 Agustus 2005. Bersumber dari: Prof. Satochid Kertanegara, Hukum
Pidana: Kumpulan Kuliah, Balai Lektur, Jakarta.
POSITION PAPER ADVOKASI RUU KUHP SERI #1
“Asas Legalitas Dalam Rancangan KUHP”
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) 11
Dalam kaitannya dengan negara hukum, asas legalitas merupakan salah satu asas yang
fundamental.26 Asas legalitas merupakan suatu penghubung antara rule of law dari hukum
pidana yang penyampingannya hanya dapat dibenarkan dalam keadaan memaksa. Melalui
asas legalitas diharapkan terdapat perlindungan terhadap hak asasi manusia, yang
melindungi dari kesewenang-wenangan penuntutan dan penghukuman.
2.3.Pengaturan Asas Legalitas dalam Hukum Pidana Indonesia
Dalam hukum pidana Indonesia, asas legalitas ini diatur dengan jelas dalam KUHP yang
berlaku sekarang (Wetboek van Straftrecht) maupun dalam Rancangan KUHP (selanjutnya
disingkat RKUHP). Pasal 1 ayat (1) KUHP yang menyatakan bahwa tiada suatu perbuatan
dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang
telah ada, sebelum perbuatan dilakukan. Bunyi Pasal 1 ayat (1) KUHP ini, secara rinci,
berisi dua hal penting, yaitu: (i) suatu tindak pidana harus dirumuskan terlebih dahulu
dalam peraturan perundang-undangan; (ii) peraturan perundang-undangan harus ada
sebelum terjadinya tindak pidana (tidak berlaku surut).27
Asas legalitas menghendaki bahwa suatu perbuatan dapat dinyatakan sebagai tindak pidana
apabila terlebih dahulu ada undang-undang yang menyatakan bahwa perbuatan itu sebagai
tindak pidana. Oleh karenanya, asas legalitas melarang penerapan hukum pidana secara
surut (retroaktif). Pasal 1 ayat (1) KUHP inilah yang menjadi landasan penegakan hukum
pidana di Indonesia, terutama dalam kaitannya dengan kepastian hukum.28
Asas legalitas ini diatur pula dalam Pasal 6 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman yang menyebutkan bahwa tidak seorang pun dapat dihadapkan di
depan pengadilan selain daripada yang ditentukan oleh undang-undang. Bunyi pasal ini
memperkuatkan kembali kehendak asas legalitas terhadap hukum pidana yang dibuat secara
tertulis. Begitu juga dalam UUD 1945 Amandemen II Pasal 28 I ayat (1) yang
menyebutkan bahwa “Hak untuk hidup, … dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum
yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan
apapun.” Begitu pula dalam Amandemen IV disebutkan bahwa “Untuk menegakkan dan
melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka
26 Lihat: ELSAM, Background Paper: Tinjauan Umum terhadap Rancangan KUHP Nasional, 2005.
27 Beberapa yuris menerangkan juga bahwa sebenarnya dalam Pasal 1 KUHP tersebut terdapat
larangan analogi. Dengan demikian, dalam Pasal 1 KUHP terkandung tiga hal penting dengan memasukkan
larangan menggunakan analogi dalam menentukan adanya tindak pidana.
28 Tetapi sayangnya, penegakan hukum pidana di Indonesia acap kali dihadapkan pada jenis
kejahatan yang terus berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat. Terdapat tindakan-tindakan baru
yang ternyata merugikan, sementara hukum pidana tertinggal jauh dengan perkembangan masyarakat.
Kenyataan ini menimbulkan suatu dilema terhadap eksistensi asas legalitas, apakah kepastian hukum akan
dikalahkan oleh upaya pemenuhan keadilan dalam masyarakat atau sebaliknya. Lihat: Eva Achjani Zulfa,
Ketika Jaman Meninggalkan Hukum, 01 April 2003, www. pemantauperadilan.com.

Pengaturan Asas Legalitas dalam RKUHP
Seperti disebutkan dalam bagian pertama, asas legalitas dalam RKUHP telah diatur secara
berbeda dengan KUHP (Wetboek van Strafrecht). Perbedaan itu antara lain bahwa dalam
RKUHP analogi telah secara eksplisit dilarang digunakan (Pasal 1 ayat (2)) dan memberi
peluang berlakunya ‘hukum yang hidup dalam masyarakat’ (Pasal 1 ayat (3)). Walaupun
demikian, makna yang dikandung dalam Pasal 1 ayat (1) dalam RKUHP tidak berbeda
seperti yang diatur dalam KUHP, yaitu: asas legalitas. Dalam Pasal 1 RKUHP disebutkan
bahwa:
(1) Tiada seorang pun dapat dipidana atau dikenakan tindakan, kecuali
perbuatan yang dilakukan telah ditetapkan sebagai tindak pidana dalam
peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat perbuatan itu
dilakukan.
(2) Dalam menetapkan adanya tindak pidana dilarang menggunakan analogi.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mengurangi
berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan
bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur
dalam peraturan perundang-undangan.
(4) Berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) sepanjang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan/atau
prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat bangsabangsa.
Penjelasannya:
Ayat (1)
Ayat ini mengandung asas legalitas. Asas ini menentukan bahwa suatu perbuatan hanya
merupakan tindak pidana apabila ditentukan demikian oleh atau didasarkan pada undangundang.
Dipergunakannya asas tersebut, oleh karena asas legalitas merupakan asas pokok
dalam hukum pidana. Oleh karena itu, peraturan perundang-undangan pidana atau yang
mengandung ancaman pidana harus sudah ada sebelum tindak pidana dilakukan. Hal ini
berarti bahwa ketentuan pidana tidak berlaku surut demi mencegah kesewenangwenangan
penegak hukum dalam menuntut dan mengadili seseorang yang dituduh
melakukan suatu tindak pidana.
POSITION PAPER ADVOKASI RUU KUHP SERI #1
“Asas Legalitas Dalam Rancangan KUHP”
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) 18
Ayat (2)
Larangan penggunaan penafsiran analogi dalam menetapkan adanya tindak pidana
merupakan konsekuensi dari penggunaan asas legalitas. Penafsiran analogi berarti bahwa
terhadap suatu perbuatan yang pada waktu dilakukan tidak merupakan suatu tindak
pidana, tetapi terhadapnya diterapkan ketentuan pidana yang berlaku untuk tindak pidana
lain yang mempunyai sifat atau bentuk yang sama, karena kedua perbuatan tersebut
dipandang analog satu dengan yang lain. Dengan ditegaskannya larangan penggunaan
analogi, maka perbedaan pendapat yang timbul dalam praktek selama ini dapat
dihilangkan.
Ayat (3)
Adalah suatu kenyataan bahwa dalam beberapa daerah tertentu di Indonesia masih
terdapat ketentuan hukum yang tidak tertulis yang hidup dalam masyarakat dan berlaku
sebagai hukum di daerah tersebut. Hal yang demikian terdapat juga dalam lapangan
hukum pidana, yaitu yang biasanya disebut dengan tindak pidana adat. Untuk
memberikan dasar hukum yang mantap mengenai berlakunya hukum pidana adat, maka
hal tersebut mendapat pengaturan secara tegas dalam Kitab Undang-undang Hukum
Pidana ini.
Ketentuan dalam ayat ini merupakan pengecualian dari asas bahwa ketentuan pidana
diatur dalam peraturan perundang-undangan. Diakuinya tindak pidana adat tersebut untuk
lebih memenuhi rasa keadilan yang hidup di dalam masyarakat tertentu.
Ayat (4)
Ayat ini mengandung pedoman atau kriteria atau rambu-rambu dalam menetapkan
sumber hukum materiil (hukum yang hidup dalam masyarakat) yang dapat dijadikan
sebagai sumber hukum (sumber legalitas materiil). Pedoman dalam ayat ini berorientasi
pada nilai nasional dan internasional.
Bunyi Pasal 1 RKUHP di atas secara keseluruhan dapat dibaca: ‘hukum pidana Indonesia
berdasarkan asas legalitas yang diperkuat dengan larangan menggunakan penafsiran
analogi’. Tetapi, asas legalitas dapat dikecualikan dengan memberlakukan ‘hukum yang
hidup dalam masyarakat’ yang menganggap suatu perbuatan adalah perbuatan dilarang.
‘Hukum yang hidup dalam masyarakat’ ini diberlakukan secara limitatif dengan
pembatasan-pembatasan tertentu, yaitu sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan/atau prinsipprinsip
hukum umum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa.
POSITION PAPER ADVOKASI RUU KUHP SERI #1
“Asas Legalitas Dalam Rancangan KUHP”
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) 19
Dalam Pasal 1 RKUHP diatur hal-hal yang baru dibandingkan KUHP, di antaranya adalah:
(i) adanya penjatuhan “tindakan” kepada pelanggar hukum pidana;51 (ii) penggunaan frase
“peraturan perundang-undangan” yang berarti bukan hanya undang-undang;52 (iii) larangan
penggunaan analogi;53 dan (iv) berlakunya “hukum yang hidup dalam masyarakat”.
Berdasarkan bunyi Pasal 1 ayat (1) RKUHP, terdapat dua hal penting mengenai berlakunya
hukum pidana, yaitu: (i) bahwa suatu perbuatan harus dirumuskan dulu dalam peraturan
perundang-undangan; (ii) peraturan perundang-undangan tersebut harus lebih dulu ada pada
saat terjadinya perbuatan dimaksud. Dari hal yang pertama, konsekuensinya adalah bahwa
perbuatan seseorang yang tidak tercantum dalam peraturan perundang-undangan sebagai
suatu tindak pidana tidak dapat dimintai pertanggungjawaban. Melalui asas ini hukum tidak
tertulis tidak dapat diterapkan. Dengan kata lain, hanya perundang-undangan dalam formal
yang dapat memberikan pengaturan di bidang pemidanaan.
Kata peraturan perundang-undangan yang dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) RKUHP tidak
lain menunjuk pada semua produk legislatif yang mencakup pemahaman bahwa tindak
pidana akan dirumuskan secara legitimit.54 Berdasarkan UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, tata urutan perundang-undangan di
antaranya: (i) Undang-Undang Dasar 1945; (ii) Undang-undang atau Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-undang; (iii) Peraturan Pemerintah; (iv) Peraturan Presiden; dan (v)
Peraturan daerah. Dengan demikian, peraturan perundangan-undangan yang dimaksud
dalam Pasal 1 ayat (1) RKUHP termasuk juga peraturan perundang-undangan yang dibuat
oleh pemerintah provinsi maupun kabupaten/kota.
Pentingnya tindak pidana yang dirumuskan melalui undang-undang tidak lain sebagai
wujud dari kewajiban pembentuk undang-undang untuk merumuskan ketentuan pidana
secara terinci atau secermat mungkin.55 Perumusan tindak pidana yang tidak jelas atau
terlalu rumit hanya akan memunculkan ketidakpastian hukum dan menghalangi
51 Adanya penjatuhan “tindakan” kepada pelanggar hukum pidana sebelumnya tidak ada. Ketentuan
ini sebagai konsekuensi memasukkan pengenaan “tindakan” kepada orang yang terbukti melanggar hukum
pidana, pelanggar hukum pidana yang telah dinyatakan terbukti tetapi tidak terbukti adanya kesalahan atau
masih tergolong anak (di bawah umur) ke dalam Buku I RKUHP. Tindakan bukanlah pidana dan tidak sama
dengan pidana, tetapi mengandung unsur “paksaan” hukum, misalnya keharusan untuk masuk rumah sakit.
Lihat: Mudzakkir, op.cit.
52 Ibid.
53 Munculnya pengaturan larangan analogi dimaksudkan untuk mengurangi perbedaan pendapat
dalam menafsirkan hukum yang dapat menghambat penegakan hukum pidana.
54 Lihat: Jan Remmelink, Op.cit. hlm. 358.
55 Asas ini dikenal dengan asas lex certa atau dikenal juga sebagai bestimmheitsgebot.
POSITION PAPER ADVOKASI RUU KUHP SERI #1
“Asas Legalitas Dalam Rancangan KUHP”
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) 20
keberhasilan upaya penuntutan karena warga selalu akan dapat membela diri bahwa
ketentuan-ketentuan seperti itu tidak berguna sebagai pedoman berlaku.56
Dari hal kedua yang disebutkan di atas, bahwa peraturan seperti yang dimaksud harus ada
sebelum perbuatan dilakukan. Ini artinya ketentuan hukum pidana tidak diperbolehkan
berlaku surut. Asas legalitas ini pada prinsipnya mengandaikan bahwa setiap individu
mempunyai kebebasan. Melalui asas legalitas inilah individu mempunyai jaminan terhadap
perlakuan sewenang-wenang negara terhadapnya sehingga terjadi kepastian hukum.
Melalui pengaturan Pasal 1 ayat (1) RKUHP ini dapat diketahui bahwa hanya perbuatan
yang diatur secara rinci/tegas dalam peraturan perundang-undangan saja yang dapat
dikenakan tindak pidana atau tindakan. Selain itu, tidak bisa, termasuk perbuatan-perbuatan
yang kiranya patut dipidana, jika undang-undang tidak menentukan bahwa perbuatan
tersebut adalah tindak pidana, maka kepada pelakunya tidak dapat dimintakan
pertanggungjawaban.
Arti penting asas legalitas yang diatur dalam Pasal 1 ayat (1) RKUHP diperkuat lagi
pengaturan ayat (2) yang melarang penggunaan analogi. Maksud dari bunyi Pasal 1 ayat
(2) RKUHP sebenarnya adalah menghendaki tidak adanya pengenaan sanksi terhadap
perbuatan-perbuatan yang dilakukan seseorang secara berlebihan. Dengan kata lain,
menghendaki bahwa perumusan delik diterapkan secara ketat (nullum crimen sine lege
stricta: ‘tiada ketentuan pidana terkecuali dirumuskan secara sempit/ketat di dalam
peraturan perundang-undangan’. Menurut Mudzakkir, alasan dicantumkannya pengaturan
larangan analogi adalah agar semua asas umum hukum pidana dimuat dalam ketentuan
umum hukum pidana Buku I RUU KUHP dan selanjutnya mengurangi perbedaan pendapat
dalam menafsirkan hukum yang dapat menghambat penegakkan hukum pidana. Oleh sebab
itu, larangan analogi dimasukkan dalam Pasal 1 ayat (2) sebagai bentuk penguatan doktrin
hukum pidana yang diterima oleh para ahli hukum tersebut.
Dalam pengaturan Pasal 1 RKUHP tidak ada larangan penafsiran ekstensif. Kembali
menurut Mudzakkir, hal ini karena ada perbedaan utama antara penafsiran analogi dengan
ekstensif, yaitu: produk penafsiran analogi menambah "hukum pidana baru" yang memuat
perbuatan yang dilarang (perbuatan pidana) yang semula tidak dilarang atau dibolehkan,
sedangkan produk penafsiran ekstensif adalah memperluas makna atau pengertian yang
tercakup dari suatu undang-undang. Oleh karenanya penafsiran ekstensif tidak dilarang.
Dari bunyi Pasal 1 ayat (2) tersebut, RKUHP melarang semua bentuk analogi. Baik itu
gesetz analogi maupun recht analogi. Dengan demikian, sebenarnya pasal ini melarang
penerapan Pasal 1 ayat (3) yang memberlakukan hukum yang hidup dalam masyarakat.
3.2.Munculnya Hukum Hidup yang dalam Masyarakat dalam RKUHP
Seperti diketahui bahwa usaha pembaharuan hukum pidana Indonesia sudah dimulai sejak
tahun 60-an. Saat itu disadari bahwa KUHP yang berlaku sekarang merupakan warisan
kolonial Belanda. Semangat untuk menggantikan KUHP dengan hukum pidana yang lebih
sesuai dengan nilai-nilai ke-Indonesia-an begitu menggebu. Seperti yang terungkap dalam
laporan Simposium Hukum Pidana Nasional tahun 1980 yang diadakan di Semarang
bahwa:
Masalah kriminalisasi dan dekriminalisasi atas suatu perbuatan haruslah sesuai dengan
politik kriminal yang dianut oleh bangsa Indonesia, yaitu sejauh mana perbuatan
tersebut bertentangan dengan nilai-nilai fundamental yang berlaku dalam masyarakat
dan oleh masyarakat dianggap patut atau tidak patut dihukum dalam rangka
menyelenggarakan kesejahteraan masyarakat.57
Jauh sebelum simposium itu, dalam Seminar Hukum Nasional I tahun 1963, keinginan
memberlakukan hukum yang hidup dalam masyarakat itu sudah muncul. Dalam Resolusi
butir (iv) disebutkan bahwa:
Yang dipandang sebagai perbuatan-perbuatan jahat tadi adalah perbuatan-perbuatan
yang dirumuskan unsur-unsurnya dalam KUHP ini maupun dalam perundangundangan
lain. Hal ini tidak menutup pintu bagi larangan perbuatan-perbuatan menurut
hukum adat yang hidup dan tidak menghambat pembentukan masyarakat yang dicitacitakan
tadi, dengan sanksi adat yang masih dapat sesuai dengan martabat bangsa.58
Sementara dalam Resolusi butir (vii) disebutkan bahwa unsur-unsur hukum agama dan
hukum adat dijalinkan dalam KUHP. Begitu pula dalam Seminar Hukum Nasional IV
tahun 1979, dalam laporan mengenai Sistem Hukum Nasional disebutkan antara lain
bahwa: (i) sistem hukum nasional harus sesuai dengan kebutuhan dan kesadaran hukum
rakyat Indonesia; (ii) … hukum nasional sejauh mungkin diusahakan dalam bentuk tertulis.
Di samping itu, hukum yang tidak tertulis tetap merupakan bagian dari hukum nasional.59
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa munculnya pengaturan asas legalitas dalam
RKUHP yang dikecualikan dengan memberlakukan “hukum yang hidup dalam
masyarakat” dilatarbelakangi oleh semangat me-Indonesia-kan hukum pidana. Pada saat itu
semangat itu begitu menggebu namun tidak diikuti usaha-usaha yang lebih konkret oleh
yuris-yuris Indonesia. Pengaturan asas legalitas -- dan penerapan sanksi adat -- dalam
RKUHP sekarang ini adalah sisa-sisa semangat itu.

Selanjutnya, dalam konteks Indonesia sekarang, apakah semangat itu masih relevan. Dalam
artian apakah politik kriminal itu masih bisa dipakai untuk Indonesia sekarang dan masa
depan. Saat ini, disadari bahwa Indonesia dalam transisi menuju demokrasi. Oleh karena
itu, mestinya RKUHP dikontekskan pada masa sekarang, sehingga perbuatan-perbuatan
yang dilarang dan tidak dilarang mesti di sesuai dengan konteks ini. Pengaturan asas
legalitas yang dikecualikan, atau tepatnya disimpangi dalam RKUHP juga dapat
menimbulkan permasalahan-permasalahan dalam penegakan hukum pidana.