Cari Blog Ini

Senin, 18 Januari 2010

resume kaidah hukum, sistem hukum,dan asas legalitas

RESUME KAIDAH HUKUM, SISTEM HUKUM DAN ASAS LEGALITAS


Hukum adalah aturan yang tertulis yang berisi perintah dan larangan yang apabila di langgar ada sanksi yang mengikat. Ilmu hukum sendiri masih bersifat abstrak sehingga pengertian ilmu hukum dapat di jelaskan hanya menurut para ahli.seperti Menurut Tullius Cicerco (Romawi) dalam “ De Legibus”, Hugo Grotius (Hugo de Grot) dalam “ De Jure Belli Pacis” (Hukum Perang dan Damai), 1625,Thomas Hobbes dalam “ Leviathan”, 1651, Rudolf von Jhering dalam “ Der Zweck Im Recht” 1877-1882, dan dari Mochtar Kusumaatmadja dalam “Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional (1976:15),dan dari pendapat mereka dapat disimpulkan bahwa ilmu hukum pada dasarnya adalah ilmu tentang menghimpun dan mensistematisasi bahan-bahan hukum dan memecahkan masalah-masalah. Tetapi Ilmu Hukum tidak hanya membicarakan mengenai peraturan undang-undang saja melainkan juga filsafatnya. Jadi ilmu hukum tidak hanya mempersoalkan suatu tatanan hukum tertentu yang berlaku disuatu negara, Dapat disingkat bahwa subyek hukum dari ilmu hukum adalah hukum. Jadi hukum sebagai suatu fenomena dalam kehidupan manusia dimana saja dan kapan saja. Dengan demikian hukum itu dapat dilihat sebagai fenomena universal dan bukan lokal atau regional.
Pengantar Ilmu hukum adalah sarana sarana meperkenalkan ilmu hukum. sebagai sarana maka PIH ( Pengantar Ilmu Hukum) menunjukan ilmu hukum secara keseluruhan. Pengantar ilmu hukum mempelajari hukum dari segi ilmiahnya secara sentral dan universal.dikatakan universal karena pandangannya adalah kepada hukum yang berlaku kapan saja dan dimana saja tidak dibatasi dengan negara. Dan pada kesempatan ini kami akan membedah Kaidah Hukum, Sistem Hukum dan Asas Legalitas secara singkat.;


KAIDAH HUKUM

Aturan Hukum dan Kaidah Hukum akan diuraikan
mengenai:

1. Aturan Hukum dan Kaidah Hukum (secara umum);
Aturan hukum pada dasarnya suatu bentuk pernyataan (uitspraak) yang terkait dengan hukum. Aturan hukum, pada dasarnya, berasal dari kaidah hukum atau norma hukum (rechtsnorm). Kaidah hukum merupakan proposisi suatu aturan hukum karena arti dari suatu kalimat atau pernyataan adalah sama dengan proposisi dari kalimat atau pernyataan tersebut. Kaidah hukum dapat pula diartikan sebagai satuan bahasa yang lebih luas yakni aturan hukum. Isi pengertian/intensi (begripsinhoud) dan lingkup pengertian/ekstensi (begripsomvang) dapat disusun dalam suatu kaidah hukum. Isi kaidah (norminhoud) adalah keseluruhan ciri unsur-unsur yang mewujudkan kaidah itu. Lingkup kaidah (normomvang) adalah wilayah penerapan (toepassingsgebied) kaidah yang bersangkutan. Arti suatu aturan hukum harus ditautkan dengan isi kaidahnya. Dari instensi dan ekstensi di atas, terdapat 2 dalil, yakni: “ISI KAIDAH MENENTUKAN WILAYAH PENERAPAN” “ISI KAIDAH BERBANDING TERBALIK DENGAN WILAYAH PENERAPAN” Dalil di atas menyatakan bahwa semakin sedikit isi kaidah hukum memuat ciriciri, maka wilayah penerapannya semakin besar. Sebaliknya, semakin banyak isi kaidah hukum memuat ciri-ciri, maka wilayah penerapannya semakin kecil. Perumusan kaidah hukum digantungkan pada pembentuk peraturan, apakah akan memuat banyak ciri-ciri atau tidak. Jika hakim dalam penerapan kaidah hukumnya memperluas isi, maka yang berubah itu isinya, bukan aturan hukumnya. Yang terakhir ini sebagai interpretasi hakim (bisa penafsiran ekstensif atau restrriktif dengan cara mengurangi atau menambah ciriciri). tanda arti yang berarti Dari skema di atas, dapat diambil contoh tentang kaidah hukum yang telah kita kenal dalam KUHP, misalnya delik biasa dan delik pemberatan (pencurian biasa dan pencurian pada malam hari atau pencurian disertai dengan kekerasan), penganiayaan ringan, berat, dan mengakibatkan mati. Contoh di atas juga berlaku bagi aturan hukum yang tidak tertulis (sebagai aturan yang belum ditetapkan atau dipositifkan oleh pejabat Aturan Hukum Kaidah Hukum Wilayah Penerapan
yang berwenang). Mengenai aturan hukum yang tidak tertulis ini diperdebatkan apakah sebagai hukum positif atau tidak. Hal ini termasuk juga dipersoalkan mengenai putusan hakim yang tidak mendasarkan pada hukum positif.

2. Kaidah Hukum Sebagai Perintah;
Prototipe (model awal sebagai contoh) kaidah hukum adalah “perintah” bagi setiap orang (umum) sebagai dasar penguat bagi pemerintah (penguasa) untuk menegakkan hukum. Jangkauan perintah untuk setiap orang (umum) harus dipenuhi bagi kaidah hukum. Jika kaidah hukum sebagai perintah, maka adanya kaidah hukum itu harus tertulis karena terkait dengan seseorang yang memberi perintah dan yang diberi perintah. Kaidah hukum tidak tertulis tidak ada yang memberi perintah. Di samping itu, perintah berkaitan dengan yang dialamatkan dan yang mengalamatkan. Kaidah hukum harus sampai kepada yang dialamatkan (yang diperintah). Kadangkala kaidah hukum lebih dari perintah karena yang diberi perintah mengharapkan, di samping taat atas perintah, juga mengemban kewajiban terhadap orang lain yang terlibat dalam pergaulan sosial. Dari hal inilah kaidah hukum sebagai perintah dapat ditipikasi. Jadi, kaidah adalah kaidah sosial yang mengarahkan diri pada perbuatan mereka yang menjadi warga masyarakat tempat kaidah hukum berlaku. Glastra van Loon/Bohtlingk mengatakan bahwa aturan-aturan hukum mengatur hubungan-hubungan pergaulan dan bagaimana antar mereka berperilaku. Kaidah hukum timbul dari kesadaran hukum para warganya. Herbert Hart (menolak terhadap teorinya John Austin) yang mengatakan bahwa kepatuhan terhadap kaidah hukum lebih banyak paksaan dari pada kepatuhan itu sendiri. Jadi, orang patuh semata-mata karena ia dipaksa untuk itu. Hart mengajarkan bahwa tidak semua kaidah hukum terdiri atas aturan perilaku sosial, tetapi ada jenis kaidah lain yang berkaitan dengan perilaku sosial warga masyarakat hukum, misalnya kaidah prosedur, kaidah kewenangan, kaidah peralihan, dan kaidah pengakuan. Yang terakhir ini disebut jenis metakaidah. Kaidah perilaku diistilahkan “primary rules”, sedangkan untuk meta kaidah diistilahkan “secondary rules”.

3. Jenis Kaidah Hukum;
Berkaitan dengan kaidah perilaku, Stig Stromholm mengadakan pembedaanantara kaidah primer yang memuat perintah perilaku dan kaidah sekunder yang menetapkan sanksi apa yang harus dikenakan jika kaidah primer dilanggar.Di bawah ini dibahas mengenai kaidah perilaku dan meta kaidah untuk menghindari kesalah pahaman pembedaan antara kaidah primer dan kaidah sekunder.

A. Kaidah hukum sebagai kaidah perilaku;

Perintah perilaku mewujudkan isi kaidah yang dapat menampilkan diri dalam berbagaiwajah. Penggolongan isi kaidah (pada umumnya) adalah :
1) Perintah (gebod), adalah kewajiban umum untuk melakukan sesuatu;
2) Larangan (verbod), adalah kewajiban umum untuk tidak melakukan sesuatu;
3) Pembebasan (vrijstelling, dispensasi), adalah pembolehan (verlof) khusus untuk tidakmelakukan sesuatu yang secara umum diharuskan;
4) Izin (toestemming), adalah pembolehan khusus untuk melakukan sesuatu yang secara umum dilarang.
Menurut A. Hamid S. Attamimi dalam disertasinya “Peranan KeputusanPresiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara”. Padahalaman 314 s.d. 316 disebutkan bahwa norma yang ada dalam peraturan perundang-undangan mengandung salah satu sifat-sifat di bawah ini, yakni :
a. perintah (gebod);
b. larangan (verbod);
c. pengizinan (toestemming); dan
d. pembebasan (vrijstelling).
Berdasarkan ilmu tentang logika norma (normenlogica) yang membicarakan antara lainkuadrat norma (normen kwadraat) yakni hubungan normlogis antara keempat operatornorma tersebut dapat dikembangkan lebih jauh melalui hubungan ekuivalensi,pertentangan kontradiktor, pertentangan kontrer, hubungan subkontrer, dan hubungan subsltern atau implikatif. Dengan demikian, sifat norma hukum yang empat beserta pengembangannya itulah yang biasanya tercantum dalam peraturan perundang-undangan. Perilaku norma dan hal ini sekadar sebagai pelengkap dan pembanding. Jika diuraikan lebih lanjut, empat perilaku di atas mempunyai hubungan satu sama lain yang juga dapat memperlihatkan hubungan logikal tertentu, yakni :
1) Perintah dan larangan saling mengecualikan atau keduanya terdapat pertentangan.Dalam logika, hubungan antara keduanya disebut kontraris yakni hubungan dua proposisi umum atau universal (dua-duanya berkenaan dengan kewajiban umum)yang berbeda dalam kualitasnya (yang satu berkenaan dengan melakukan sesuatu,yang lainnya berkenaan dengan tidak melakukan sesuatu).
2) Perintah mengimplikasikan izin. Jika orang mengemban kewajibkan untukmelakukan sesuatu, maka orang tersebut juga mempunyai izin untuk melakukan hal itu. Sebaliknya, larangan mengimplikasikan pembebasan. Jika orang mempunyai kewajiban untuk tidak melakukan sesuatu, maka orang tersebut juga mempunyai izin untuk tidak melakukan sesuatu itu. Jadi, terdapat implikasi secara respektif antara perintah dan izin serta antara larangan dan dispensasi, artinya jika perilaku tertentu diperintahkan, maka orang itu juga mempunyai izin untuk berperilaku demikian, dan jika perilaku tertentu dilarang, maka orang itu juga dibebaskan dari keharusan untuk berperilaku demikian. Dalam logika, hubungan yang demikian disebut subalternasi yakni terdapat antara proposisi universal dan proposisi partikular (hubungan in berkenaan dengan di satu pihak suatu kewajiban umum dan di lain pihak suatu kebolehan khusus) yang kualitasnya sama (melakukan sesuatu dan tidak melakukansesuatu).
3) Antara izin dan dispensasi (pembebasan) tidak saling menggigit karena orang dapat mempunyai izin untuk melakukan sesuatu dan pada saat yang sama ia dapat mempunyai izin untuk tidak melakukan hal itu. Jika perilaku tertentu diperbolehkan, maka terdapat kemungkinan pada waktu yang bersamaan ia juga dibebaskan dari keharusan untuk berperilaku demikian. Namun tidak mungkin terjadi bahwa perilakutertentu tidak diperbolehkan dan orang juga tidak dibebaskan (dari keharusan) untukberperilaku demikian. Hubungan ini dalam logika disebut hubungan subkontraris.
4) Antara perintah dan dispensasi, seperti juga larangan dan izin, tidak dapat berlakubersama-sama. Bukankah orang tidak dapat mempunyai kewajiban untuk melakukan sesuatu, sedangkan ia juga diizinkan untuk tidak melakukan hal itu. Begitu juga orang tidak dapat mempunyai kewajiban untuk tidak melakukan sesuatu, padahal pada saat yang sama ia juga diperbolehkan untuk melakukan hal itu. Jadi, secara respektif antara perintah dan dispensasi serta antara larangan dan izin terdapat perlawanan. Jika perilaku tertentu diperintahkan maka orang tidak dapat dibebaskan darinya, dan jika perilaku tertentu dilarang maka orang tidak dapat memiliki izinuntuk melakukan hal itu. Namun dapat terjadi bahwa berkenaan dengan perilaku tertentu tidak terdapat perintah atau dispensasi, atau tidak terdapat larangan atau izin.Hubungan ini dalam logika disebut hubungan kontradiksi.perintah kontraris larangansubalternasi kontradiksi subalternasiizin subkontraris dispensasi

B. Kaidah Hukum Sebagai Meta Kaidah;

Di samping kaidah perilaku, terdapat kelompok besar kaidah yang menentukan sesuatu berkenaan dengan kaidah perilaku itu sendiri, yang disebut dengan metakaidah. Hart menyebut 3 macam metakaidah, dan sarjana lain menambahkan 2 macam yakni :
1) kaidah pengakuan (kaidah perilaku mana yang di dalam masyarakat hukum tertentu harus dipatuhi, misalnya larangan undang-undang berlaku surut);
2) kaidah perubahan (kaidah yang menetapkan bagaimana suatu kaidah perilaku dapat diubah, misalnya undang-undang tentang perubahan);
3) kaidah kewenangan (kaidah yang menetapkan oleh siapa dan dengan melalui prosedur yang mana kaidah perilaku ditetapkan dan bagaimana kaidah perilaku harus diterapkan, misalnya tentang kekuasaan kehakiman).
4) kaidah definisi; dan
5) kaidah penilaian.

C. Kaidah Mandiri dan Kaidah Tidak Mandiri;

Kaidah ini hanya dapat dikemukakan suatu contoh bahwa kaidah perilaku berupa larangan atau perintah merupakan kaidah mandiri. Dalam hal larangan dan perintah tersebut terdapat dispensasi atau izin, maka dispensasi dan izin adalah sebagai kaidah yang tidak mandiri karena sebagai penunjang kaidah mandiri.

Berkenaan dengan aturan hukum yang terdiri atas kaidah hukum primer dan
kaidah sekunder dapat muncul berbagai variasi. Kaidah primer dan sekunder dapat
dirumuskan secara terpisah. Kaidah primer dapat memuat banyak unsur dan unsur-unsur tersebut dapat disusun secara kumulatif dan juga alternatif.
Penggunaan istilah untuk kaidah perintah dan larangan, juga pembebasan dan
izin, sering mengalami kesulitan dalam menentukan diksi atau pilihan kata. Dalam
beberapa ketentuan, sering tidak konsisten dalam penggunaannya.
Pilihan Kata (diksi) Penormaan Di Belanda, kata Bruggink, pilihan kata untuk penormaan (operator norma) juga menimbulkan permasalahan bahasa yang juga sering berpengaruh pada kepastian hokum, karena ketidak konstenan penggunaan istilah. Norma perintah dinyatakan dengan bantuan kata “mengharuskan” (moeten) atau dengan ungkapan seperti “terikat untuk” (gehouden zijn tot) atau “berkewajiban untuk” (verplicht zijn tot). Norma larangan, perancang menggunakan kata “tidak boleh” (niet mogen) atau “dilarang” (het is verboden).


SISTEM HUKUM

Arti Sistem hukum adalah kesatuan/keseluruhan kaedah hukum yang berlaku di negara-negara/ daerah. sistem mempunyai ciri-ciri
1)terdiri dari komponen komponen yang satu sama lain berhubungan ketergantungan dan dalam keutuhan organisasi yang teratur serta terintegrasi. arti sistem dalam kaitannya dengan hukum
2)suatu susunan atau tatanan yang teratur, suatu keseluruhan yang terdiri atas bagian-bagian yang berkaiotan satu sama lain, tersusun menurut suatu rencana atau pola, hasil dari suatu penulisan untuk mencapai suatu tujuan
Ada berbagai jenis sistem hukum yang berbeda yang dianut oleh negara-negara di dunia pada saat ini, antara lain
1)Sistem hukum Eropa Kontinental Sistem hukum Eropa Kontinental adalah suatu sistem hukum dengan ciri-ciri adanya berbagai ketentuan-ketentuan hukum dikodifikasi (dihimpun) secara sistematis yang akan ditafsirkan lebih lanjut oleh hakim dalam penerapannya. Hampir 60% dari populasi dunia tinggal di negara yang menganut sistem hukum ini.
2)Sistem hukum Anglo-Saxon Sistem hukum Anglo-Saxon adalah suatu sistem hukum yang didasarkan pada yurisprudensi, yaitu keputusan-keputusan hakim terdahulu yang kemudian menjadi dasar putusan hakim-hakim selanjutnya. Sistem hukum ini diterapkan di Irlandia, Inggris, Australia, Selandia Baru, Afrika Selatan, Kanada (kecuali Provinsi Quebec) dan Amerika Serikat (walaupun negara bagian Louisiana mempergunakan sistem hukum ini bersamaan dengan sistim hukum Eropa Kontinental Napoleon). Selain negara-negara tersebut, beberapa negara lain juga menerapkan sistem hukum Anglo-Saxon campuran, misalnya Pakistan, India dan Nigeria yang menerapkan sebagian besar sistem hukum Anglo-Saxon, namun juga memberlakukan hukum adat dan hukum agama. Sistem hukum anglo saxon, sebenarnya penerapannya lebih mudah terutama pada masyarakat pada negara-negara berkembang karena sesuai dengan perkembangan zaman.Pendapat para ahli dan prakitisi hukum lebih menonjol digunakan oleh hakim, dalam memutus perkara.
3)Sistem hukum adat/kebiasaan Hukum Adat adalah adalah seperangkat norma dan aturan adat/kebiasaan yang berlaku di suatu wilayah.
4)Sistem hukum agama Sistem hukum agama adalah sistem hukum yang berdasarkan ketentuan agama tertentu. Sistem hukum agama biasanya terdapat dalam Kitab Suci.


ASAS LEGALITAS

Asas legalitas merupakan instrumen penting perlindungan kemerdekaan individu saat berhadapan dengan negara. Karena dengan asas legalitas perbuatan yang dapat dihukum menjadi otoritas peraturan, bukan kekuasaan. sejarah kemunculan asas legalitas Legalitas pada pemunculannya memang punya intensi HAM, makanya…makin besar kebebasan manusia warga, makin kecil juga lex yang dibuat untuk mencampuri hak-hak manusia yang terbilang warga itu. Akar gagasan asas legalitas berasal dari ketentuan Pasal 39 Magna Charta (1215) di Inggris, yang menjamin adanya perlindungan rakyat dari penangkapan, penahanan, penyitaan, pembuangan, dan dikeluarkannya seseorang dari perlindungan hukum/undang-undang, kecuali ada putusan peradilan yang sah. Ketentuan ini diikuti Habeas Corpus Act (1679) di Inggris yang mengharuskan seseorang yang ditangkap diperiksa dalam waktu singkat. Pasca lahirnya Magna Charta dan Habeas Corpus Act, jaminan atas hak dan kewajiban rakyat kemudian berubah menjadi asas-asas hukum. Asas-asas hukum ini dirumuskan dalam hukum tertulis, agar memiliki jamian kepastian hukum (rechtszekerheid). Asas legalitas ini berkembang ke prancis dan Montesquieu lewat bukunya L’esprit des Lois (1748) dan bukunya Rousseau “Dus Contrat Social, ou principes du droit politique” (1762) memperkenalkan pemikiran asas legalitas, sebagai bentuk perlawanan terhadap konsep Let’s ces moi, yang didengungkan Raja Prancis saat itu (Raja LOUIS XIV). Selain perkembangan dari inggris asas legalitas juga sudah berkembang di America, dan turut mempengaruhi sistem hukum di Prancis, hal ini di kemukakan oleh Marquis de Lafayette, seorang sahabat George Washington. Di Amerika, ketentuan asas legalitas sudah dicantumkan dalam Declaration of Independence 1776, di sana disebutkan tiada seorang pun boleh dituntut atau ditangkap selain dengan, dan karena tindakan-tindakan yang diatur dalam, peraturan perundang-undangan. Pemikiran asas legalitas kemudian diimplementasikan sebagai undang-undang dalam Pasal 8 Declaration des droits de L’homme et du citoyen (1789). Asas ini kemudian dimasukkan dalam Pasal 4 Code Penal Perancis pada masa pemerintahan Napoleon Bonaparte (1801). Bunyi ketentuan ini adalah bahwa “ Tidak ada sesuatu yang boleh dipidana selain karena suatu wet yang ditetapkan dalam undang-undang dan diundangkan secara sah.” Salah satu tokoh yang memiliki peran penting pada masa itu adalah Beccaria, yang dalam bukunya “Dei delitti e drllee pene” (Over misdaden en straffen 1764) juga menyatakan bahwa individu harus dilindungi dari perbuatan sewenang-wenang. Perjalanan selanjutnya, Von Feuerbach seorang sarjana Jerman, merumuskan adagium “Nullum delictum, nulla poena sine praevia lege poenali.” Bahwa tidak delik, tidak ada pidana tanpa peraturan lebih dahulu. Adagium ini terkandung dalam bukunya Lehrbuch des peinlichen Rechts (1801). Asas legalitas yang dikemukakan oleh Feuerbach mengandung tiga pengertian: 1)Tidak ada perbuatan dapat dipidana, apabila belum diatur dalam undang-undang. 2)Dalam menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi. 3)Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut (non retroaktif). Ketentuan asas legalitas diakui pertama kali oleh konstitusi Amerika Serikat tahun 1783, dicantumkan dalam Article I Section 9 yang berbunyi: “No bill of attainder or ex post pacto law shall be passed”. Lalu diikuti oleh Perancis di dalam Declaration des droits de L’homme et du citoyen 1789. Selanjutnya ketentuan ini diikuti oleh negara-negara yang menganut sistem hukum Eropa Kontinental –kepastian hukum dijunjung tinggi-.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar